"Skripsi adalah tentang setumpuk suhuf yang dikarang oleh jiwa-jiwa yang tenang, digubah oleh ragam hati yang tabah dan guratan tinta dari jemari yang penuh cinta dan kasih sayang."
- Sabda Shangkara -
Skripsi dan Congkak yang Ditampakkan
Entah mengapa pagi ini kopi-ku tak lagi senikmat pagi waktu itu, pagi dimana aku menyandang mahasiswa tingkat satu. Kadang aku juga rindu memandangi juntaian ranting pohon mangga cengkir dan burung gereja yang sibuk menata kehidupan idealnya, sedang aku merenung; mengumpat; bahwa keharibaanku saat ini adalah mahasiswa yang berdaulat atas hidup daku sendiri. Wajar, aku adalah mahasiswa tingkat satu, tengah sibuk menata dunia; tepatnya aku adalah orang paling sibuk karena misiku menyusun siasat untuk menghabisi sistem yang konon katanya merugikan orang tuaku.
Aku pun tidak begitu mengerti sebetulnya, hanya saja obrolan kakak tingkat yang mengenakan sepatu jogger dan jaket levis itu begitu menjadi candu-ku seterusnya. Aku takjub, aku merasa bangga ada di lingkungannya; meskipun kadang menyaksikan mereka bangun tidur pukul 3 sore. Mungkin, ini adalah maksud Qudrat dan Iradat Tuhan yang menentukan mana jism yang bekerja keras serta yang ditugaskan untuk menyampaikan kebenaran. Kini, segala perasaan itu tak lagi muncul dalam setiap teguk kopi yang aku minum, kini; kopiku getir karena aku yang selalu reaksioner dalam menerima realitas.
Rupanya kecurigaanku benar, aku curiga kegetiran ini adalah muasal dari layar Vivo Y91C yang aku genggam ditangan kiri. Bermunculan berita pasal sebagian besar teman-teman angkatan tengah sibuk menyusun tugas akhir. Agaknya ini adalah titik nol segala gundah pasal perubahan ini aku rasakan; kamar kos yang kian kosong, rokok yang sudah mampu kuhabiskan sendiri, dan es cekek yang sudah tak lagi berhamburan di pojok tembok kamar kos. Jauh direlung hati paling dalam, aku merasakan kehilangan hebat akan momentum bersama. Kini aku hanya bisa mengamini kalau aku adalah mahasiswa yang terlena akan waktu-waktu belajarku di kampus.
Segala kesepian dan gundah adalah teman baruku setiap pagi. Begitupun dengan pagi ini, pagi yang aku ragukan mujarabnya kopi yang tengah aku nikmati saat ini. Hingga tersadar beberapa waktu berlalu, jam gambar doraemon di tembok tetangga kamar kos ku itu telah menunjukan pukul delapan. Aku coba bergegas, mengutuki nasib dan mencoba meyakinkan diri bahwa aku juga bisa mengupayakannya.
"Okelah, gue mau bimbingan. Kata adik tingkat gondrong itu sih kemaren beliau ada jam ngajar disemester lima jam sembilan. Oh iya, sekalian nanya matkul gue yang ngulang anjirrr" Gumamku sambil mengguyur badan dengan gayung berbentuk love warna kuning.
Sebetulnya, kesepian ini membuatku bisa sedikit merasa menjadi bagian dari borju. Setidaknya kini menu nasi padangku dihiasi sayap ayam, bergedel kentang dan es teh yang menggugah selera. Jelas kondisi itu berbeda dengan beberapa bulan yang lalu; saat itu hanya segenggam nasi ditambah sayur singkong dihargai tiga ribu rupiah untuk satu porsi dan cukup untuk disantap 7 orang, hanya itu yang aku ketahui tentang nasi padang.
Namun apalah arti ini semua, apabila handuk-ku tak lagi jadi lap kopi yang tak sengaja tumpah atau jas almamater yang dipinjam untuk aksi. Pada akhirnya aku benar-benar tersadar kalau hal demikian adalah hal yang tidak benar, perlu di advokasi; seperti yang kakak tingkatku ceritakan soal kutukan semester tujuh. Ya! para kakak tingkatku mewanti-wanti untuk tetap meneguhkan hati terhadap kesekawanan, kurang lebih begini bunyinya:
"Akan datang pada satu masa, dimana kawan-kawan seperjuangan akan menghamba pada sistem. Juga akan ada saatnya, kata-kata sudah tidak lagi mujarab untuk mengusung perubahan, candu mereka bukan lagi bako tingwe, melainkan pragmatisme yang menyesatkan. Satu hal jikalau terjadi demikian, hanya bisa disiasati dengan keteguhan iman dan takwa."
Semua kekacauan fikiranku itu muncul beriringan dengan gemricik air yang menjamahi tubuhku. Hingga daku tersadar; sial! Sepertinya sudah jam sembilan. Deru suara motor supra-fit tetangga kos yang bekerja sebagai sales wifi itu sudah berangkat. Kekalutan fikiran nampaknya bukan pilihan yang baik untuk-ku saat ini, aku harus memperbanyak aksiku. Setidaknya untuk mengejar ketertinggalanku dari angkatan.
Sontak aku bergegas menanggalkan kamar mandi yang konon menurut orang-orang adalah ruang meditasi. Demikian pula dengan busana yang aku pakai, aku berusaha serapih mungkin; kemeja yang diberikan kekasihku aku pakai, rambut yang sengaja aku panjangkan untuk personifikasi kebebasan ini pun aku paksa untuk patuh sebentar–meski masih menetes sisa air nan gelisah.
Kini aku siap untuk menghadapi realitas. Aku menuju kampus yang konon menjadi pasar ideologi, sambil komat kamit merapalkan doa-doa yang masih aku hafal. Harap-harap cemas aku diizinkan bisa bertemu dosen pembimbing yang konon katanya memiliki ajian ilmu Panglimunan atau orang jawa bilang itu adalah ajian sakti yang membuat orang memilikinya 'tak dapat dilihat oleh orang bermaksud jahat; mungkin termasuk mahasiswanya sendiri.
Dengan sedikit bergegas aku menyusuri lorong-lorong kampus, aku juga menjumpai kawan-kawan yang kini sudah tidak gondrong dan tidak memakai sandal jepit. Pesonanya semakin terlihat, rambutnya kini macam kopral; padahal jelas-jelas bulan lalu kita buat aksi menentang boikot militer di Myanmar. Aku coba untuk melempar pertanyaan kepada mereka, rupanya mereka tengah sibuk membuka map kuning kesayangannya itu. Aku pun tak acuh, aku segera memasuki kamar persenggamaan hati dan fikiran, kamar itu jugalah yang banyak melahirkan sarjana-sarjana beradab.
Baru satu menit aku berada didalam kamar tersebut, hati merasa tersayat. Dosen yang mengiyakan janjiku kemarin tidak bisa ditemui karena harus terlibat dalam pembangunan candi, project pengurasan air laut dan pemurnian hati anak cucu adam. Setengah mati terkejut, kembalilah untuk berkeluh kesah pada kawan-kawanku diluar.
Ternyata kawanku sedikit berbeda. Mereka tak lagi tertarik pada kesusahan orang lain, aku mempertanyakan kedalam diri, dimana mereka menggadaikan seluruh empati yang telah dibangun. Mereka kini menjadi manusia yang diperbudak sistem, aku menyaksikannya sendiri. Hingga akhirnya mereka pergi memasuki ruang dosen masing-masing, meninggalkan aku dan ideologisnya bersamaku; di bangku depan jurusan.
(BERSAMBUNG)
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.