"Tapi biar begitu aku tidak bisa munafik, sampai aku menulis ini pun kau masih jadi penguasa cerita bertajuk rindu."
Langit belum meminang matahari, tapi aku sudah menyambut kabut pada Januari yang dingin. Aku tengah menunggu kereta yang membawamu pulang, gadisku. 6 bulan yang panjang, dan aku tak kuasa menahan debar. Ku duduk di selasar tanpa atap, berteman karatan kaki bangku di Stasiun Malang.
Di sini pernah kulihat perihal air muka yang keruh serta desah sejoli yang menyatukan kelingking. “Ah, kau adalah kenang yang selalu punya cara untuk dikenang,” gumamku dengan menatap langit yang basah.
Teringat sepercik hujan semusim lalu, sebelum melepasmu yang akan hilang pada rerimbun manusia yang lalu-lalang. Aku dan kau saling menatap dan saling mengecup. Lalu kau mengiba, meminta sebuah temu pada waktu yang belum tentu. Aku tersenyum.
“Kita akan bertemu juga, Enu. Pada akhirnya jumpa akan datang pada suatu ketika.”
“Tidakkah kita akan saling melupa pada akhirnya?” tanyamu.
“Jika begitu, kita hanya tinggal memulai lagi. Bukankah jarak kita cuma waktu?”
Waktu itu senja hampir padam, dan mendung membuat langit petang kian bermuram. Kukencangkan jaket beludrumu sebatas leher, dan kupandangi matamu yang sayu. Kau remas tanganku, erat.
“Tidakkah kau takut melepasku, Nana?” kau bertanya
“Kenapa? Aku tidak takut melepas merpati. Jika dia baik, dia akan tahu jalan pulang.” Kau tersenyum.
****
Aku menoleh ke arah sesorot lampu dari barat, itu adalah kereta yang menghantarmu. Aku menebak-nebak kiranya dari gerbong nomor berapa kau akan muncul dengan senyum lepasmu lalu berteriak keras memanggil namaku?
Ah, kau gadis ayu yang lugu, kurun waktu enam purnama tak akan buat surut perangaimu. Ya, kau akan berlari dengan teriakan lantangmu lalu mendekapku dengan erat sampai sesak napasku.
Penumpang tumpah ruah. Seratus, dua ratus, dan entah berapa. Sebagian sudah dijemput kerabat dan mereka berpeluk mesra karena lama tak jumpa. Tapi kau? Di mana? Kuteriakkan namamu agar bisa kuperoleh perhatianmu, “Rina!” tapi tidak ada yang datang kepadaku, malah gadis lain yang bernama sama denganmu yang datang, tapi itu bukan kau!
Pandanganku memutar sekeliling, tapi mataku yang cekung tak juga bisa menangkap sosokmu yang belum kasat. Hingga surut para penumpang hadirmu tak dapat kujumpai. Juga pada tujuh kereta selanjutnya, gadis yang kutunggu masih urung untuk muncul.
Kupandangi langit yang mulai susut, dan hariku sudah hampir hilang senja. Apakah aku menunggu pada hari yang salah? Dan apakah benar kau akan segera kembali gadisku?
Aku masih duduk di atas bangku panjang karatan di Stasiun Malang, waktu-waktu berlalu. Jam besar di seberang peron berdentang-denting menunjuk waktu sudah tengah malam. Lalu-lalang manusia berkurang, waktu sudah liar mengusik detik, dan yang tersisa hanyalah tubuh sendiri dan sepotong malam yang dingin serta kelabu, juga mimpi yang tidak bisa mengajakku terbang.
Kereta lain datang, kali ini dari arah timur. Lampunya menerobos halimun yang mulai pucat di rangkai larut. Sudah tak kutaruh harap pada kereta ini, apalagi dia beranjak dari timur, bukan dari arah kau pergi berpamitan.
“Kau tidak akan kembali hari ini, ya, Enu?” gumamku.
Pikiranku beragitasi, menelisik ingatan menuju tahun-tahun kita selalu bersama, dan sebaris senyum simpul mencuat dari bibirku. Saat itu malam dan kau mengajariku bagaimana sebuah rasa muncul dengan sederhana dan tiba-tiba.
Langit sedang bagus, mungkin sekawanan burung emprit juga berpikir begitu. Mereka tampak senang bergoyang pada setangkai runduk padi, emprit kecil lebih suka berkelon dengan induknya di sarang yang tergantung pada pohon arbei. Sedangkan ini bukan hari baik untuk ikan wader yang berada di ujung paruh burung blekok di petak sawah lainnya.
Aku senang di sini, sekadar rehat sejenak di sebuah gubug reyot sambil melempari langit dengan sekeping batu pipih, berharap sebuah nasib baik jatuh.
Aku adalah seorang bujang penjaja bibit tanaman, berkeliling aku berdagang dengan sepeda dan keranjang di belakang. Kukayuh lagi onthelku, sekali dua kali berhenti saat pembeli menghampiri. “Alhamdulillah,” syukur tipis terucap setelah dua lembar uang lima ribu bertukar dengan bibit pohon rembesi, lalu berkeliling lagi, begitulah aku sehari-hari.
Sudah pukul 5, jangan sampai aku terlampau petang. Ada senja yang harus diburu untuk dinikmati, dan kukayuh sepeda tua itu dengan kencang hingga sampai juga pada sebuah jembatan tinggi. Di bawahnya adalah lajur rel kereta api, di utara siluet gunung merapi, dan di barat sudah hampir tenggelam si mentari. Selain di gubug tadi, menikmati senja di sini adalah hobi.
Lihatlah, teman, di sana sudah menggulung sewarna lembayung seperti hendak membuka cerita yang dibawa angin dan membariskan harapan-harapan tersembunyi, lalu sekejap hilang. Aku tersenyum. Sudah cukup kuhabiskan waktu di jalanan, sekarang aku akan pulang untuk mengerjakan tugas sekolah.
“Nana, apa jual kembang anggrek?” suara orang bertanya, aku memutar pandangan.
Ah, kau adalah gadis yang tadi kulihat sedang duduk di atas sepeda motor. Mungkinkah juga sedang menikmati sore sepertiku?
“Duh, kebetulan saya tidak membawa hari ini. Jika berkenan besok bisa saya bawakan,” jawabku
“Oh iya, Nana, saya pesan satu. Jika ada yang berwarna merah.”
“Baik, bisa saya antar di mana?” tanyaku.
“Saya sering melihat Nana di sini setiap sore, saya juga hampir tiap hari kemari menjelang petang. Boleh bawa ke tempat ini saja,” begitulah katamu dengan binar mata yang akan kuingat selalu.
Sudah berkali-kali berganti senja, kau memesan ragam satu jenis tanaman dan lainnya, kita bertemu di tempat yang sama dan waktu yang sama. Di jembatan layang saat senja, kau juga penggemar senja rupanya. Di sana juga kukenal namamu sebagai Ayu, entah lebih tepatnya itu nama atau gelar, yang jelas itu sesuai dengan parasmu.
Suatu ketika saat pulang misa hari Minggu, aku masih di sana bersamamu, kau tengah bercerita mengenai sekolahmu tapi kupotong karena aku harus pulang. Lambaian tanganmu dan ucapan sampai jumpa lagi mengiringi aku yang memutar sepeda. Tapi baru dua tiga kayu sudah harus aku berhenti memedal. Ban sepedaku bocor, sial.
“Kenapa, Nana?” tanyamu yang menghampiri.
“Sedang tidak bernasib mujur,” jawabku dengan menunjuk ban.
Aku ingat betul, saat itu kau bersikeras untuk membantu. Akhirnya aku terbujuk, kutitipkan sepedaku di sebuah warung, dan kau meminta aku menaruh keranjang daganganku di jok belakang motormu, lalu kita berbonceng bersama.
Kutunjukkan jalan menuju rumahku tapi pada persimpangan kau berbelok ke arah yang berbeda. Aku bertanya, tapi kau menjawab, “Ikut saja dulu,” dan aku diam.
“Apa ini rumahmu?” tanyaku saat kita berhenti.
“Ya, masuk dulu,” perintahmu.
Kutapaki lantai rumahmu yang beralas marmer, berbeda sekali dengan hunianku. Aku duduk di teras, dan kau masuk lalu kembali dengan membawa dua buah mangkuk.
“Sore tadi aku memasak ini, dan aku ingin menikmatinya denganmu sebelum kau kuantar.” Kuterima wadah berisi bubur kacang hijau buatanmu itu.
“Silakan dimakan,” katamu dengan mengangkat mangkuk, uap tipisnya masih keluar.
Kau menghirupnya dari dekat dengan senyum yang selalu kusuka. Kumasukkan sesendok ke mulut, sambil menatap lekat wajahmu, dan di situlah aku sadar: Aku jatuh cinta.
Entah berapa lama aku tersenyum sendiri di sini. Yang jelas senyum itu segera luruh saat aku tersadar. Kau belum juga kembali.
****
Sudah 5 tahun sejak saat itu, aku menunggumu di peron stasiun 6 jam sehari selama 2 bulan, tapi kabar tak muncul barang sebiji dari ponselku. Rumahmu kosong, dan aku tidak tahu di mana kau kini beralamat.
Jangan tanya kemana aku mengembara, gadisku, setengah pulau Jawa sudah kuhabisi untuk mencari, tapi jumpa tak kunjung temu. Kau adalah tanda tanya terbesar yang ingin kutahu di mana jawabannya. Hingga sampailah aku pada titik jengah, bosan, kecewa lalu kata serapah rajin keluar dari lisanku saban aku mengingatmu.
“Enu, kau gadis berengsek,” begitu batinku tiap mengingat namamu.
Waktu sudah dikokang dan dilesatkan, aku melanjutkan hidup. Kudapati satu hal mengenai ini. Kehilangan seseorang tidak akan membuat hidupku berhenti, bukankah aku masih bisa bergerak, berjalan, dan berlari? Bahkan kurasa lebih cepat.
Suatu hari di masa remajaku, aku berdiri di depan cermin kamarku, meraba semua bagian wajahku dan tak kutemu barang istimewa di sana. Mungkin itu alasan kau pergi? Atau karena dinding-dinding rumahku yang masih beranyam bambu ini?
Aku menghela napas panjang, membuat cermin di depanku berembun. Lalu kuusap dengan telapak tangan, dari pantulannya perhatianku tertuju pada tumpukan benda di atas meja. Tumpukan buku, ya aku harus meninggalkan kehidupan kere ini!
Hidupku sudah berganti, nasib baik juga menghampiri. Tapi biar begitu aku tidak bisa munafik, sampai aku menulis ini pun kau masih jadi penguasa cerita bertajuk rindu. Di depan meja kerjaku masih kubingkai dengan rapi potret kita berdua yang terlihat sangat bahagia, lengkap dengan catatan kecil yang dulu kau tulis. “Semangat, Mas, dunia tidak akan melunak. Kau yang harus jadi lebih kuat.”
Sering kuhabiskan berjam-jam menatap lembar foto kusam itu, dan rindu meluncur deras di setiap sendi dan pembuluh darahku, tapi jangan lupa soal rasa benci yang sudah mendidih merata di dada.
Beberapa bulan lalu aku berada di Bandung, mengisi perbincangan di sebuah forum menulis. Selepas acara, aku duduk-duduk di sebuah taman kota sambil minum jus dan menikmati sebatang rokok filter yang sudah kuisap setengah.
“Hai,” suara seseorang, sekiranya itu sapaan untukku karena begitu terasa dekat di sekitarku. Aku melengak, dan seketika kurasakan hawa dingin dari batu taman yang kududuki menjalar sampai dadaku lalu sesuatu yang hangat dan berdesir meluncur cepat di sekucur tubuh, seolah tulang-tulangku terlolosi dari tempatnya.
Tidak salah lagi itu adalah kau, gadis bernama Rina yang kupanggil Enu. Yang selama bertahun-tahun lalu kucari dengan susah payah, kini ada di depan pelupuk mataku tanpa ada rencana dan usaha.
Aku masih terbata dalam bisu, kau kian dekat dan malah merapat di samping dudukku.
“Kudengar Nana ada acara di sini lalu aku mampir. Sebenarnya aku mau mengacungkan tangan saat sesi tanya jawab tadi. Tapi karena aku di belakang, mungkin Nana tidak melihatku,” katamu pelan dengan senyum lembut. Cantik, kau bertambah jelita.
Aku masih diam, menahan sesuatu yang memberontak di dadaku. Entah binatang buas apa yang hidup dalam tubuhku, yang jelas kurasakan ada sesuatu yang meronta dari dalam. Menjerit dan berusaha melepaskan diri seolah dia sudah di kandang terlalu lama.
“Aku tidak tahu kalau sekarang Nana merokok,” kau bicara lagi
“Banyak yang berubah sejak kita tidak saling bertemu,” segera kujawab begitu kesadaranku kembali. Kucoba membuat sesimpul senyum mengejek di mulutku.
“Bagiku tidak, Nana masih duduk dengan cara yang sama seperti dulu,” kau berbicara dengan mata yang mengawasi sekumpulan kembang soka di depan kakimu.
“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanyaku.
“Cukup mudah mencari tahu di mana Nana berada. Surat kabar yang sering memuat tulisanmu dan internet.” Kau bicara dengan menggerlingkan wajahmu ke arahku. Debarku makin kurang ajar bergemuruh.
“Masih tinggal di Malang?” kau bertanya lagi.
“Aku lebih sering berpindah tempat sekarang,” jawabku berbohong.
“Yang kudengar di seminar tadi tidak begitu, Mas masih tinggal di alamat yang seperti dulu.”
“Lalu kenapa kau bertanya, dan kenapa ingin tahu?”
***
Entah kau tak tahan dengan sikap sinisku, atau sekumpulan burung pipit yang terbang rendah di seberang kita membuat pandanganmu beralih.
“Aku selalu mencari tahu tentangmu, Nana.” kau bicara dengan nada menurun.
Aku ingin mengumpat mendengar jawabanmu. Tapi kutahan, aku berusaha menguasai keadaan dengan tidak terlihat menjadi pihak yang kalah di sini. Aku harus bisa menunjukkan bahwa hidupku sedang baik-baik saja, paling tidak di depanmu.
“Bagaimana hidupmu sekarang?” tanyaku
“Sejauh ini baik, Nana. Bagaimana denganmu?”
“Namaku Tinus, panggil saja dengan nama itu, dan jika aku tidak salah kau tadi bilang selalu mencari tahu tentangku. Tentunya kau sudah paham bagaimana,” kujawab cepat, dan kau mengangguk.
“Masih sendiri?” pertanyaanmu mencekat ludah di tenggorokanku. Ingin kujawab tidak, tapi aku takut ketahuan berbohong. Jadi biarlah untuk saat ini aku mengalah dengan mengangguk tipis.
“Bagaimana denganmu?” buru-buru kutanya balik, aku takut kau bertanya kenapa, dan baru sedetik, kusesali apa yang kutanyakan.
“Tadi aku ke sini diantar suamiku.”
“Oh,” jawabku lirih sambil mengembuskan asap rokok, diiringi perasaan perih. Berengsek ini sangat sakit bagiku!
“Aku menunggu kesempatan seperti ini untuk bertemu untuk memberi penjelasan. Tapi kupikir itu tidak lagi diperlukan, bukankah begitu?”
Dengan lembut kau sentuh pundakku. Sentuhan yang selalu aku tunggu selama lima tahun dan mengenai perkataanmu tadi benar juga, aku sudah cukup kecewa kehilanganmu, aku tidak mau bertambah sesal dengan tahu alasannya karena percuma. Semua sudah terjadi dan aku tidak bisa berbuat apa pun.
“Jadi, hari ini aku menemuimu setelah sekian lama untuk meminta maaf,” tambahmu lagi, kini dengan suara bergetar.
Jika kerinduan dan kemarahanku bisa dipadatkan, maka hari itu akan kutumpahkan semua di situ. Aku berpikir keras, kira-kira jawaban apa yang pantas kukatakan padamu. Baru saja mulutku terbuka, dengan cepat kau ubah posisi dudukmu dan bersimpuh persis di depanku.
“Tidak sehari pun kulewati tanpa penyesalan, Nana, aku telah berdosa. Aku mengakui kesalahanku, dan jika kau sudi maka…”
Kini dapat kulihat lelehan air bening keluar dari matamu. Seketika musnah sudah amarahku, berganti dengan perasaan yang entah bagaimana aku merumusnya ke dalam tulisan ini. Aku hanya bisa mengatup rahangku kuat-kuat, sambil meremas lututku dengan keras. Bodoh, katakan saja. Tinus, kau adalah lelaki bodoh!
“ Maaf… maafkan aku,” dan air mata itu jatuh di rerumputan, dan isak tangismu pecah.
Runtuh sudah pertahananku, tak kuasa rasanya melihatmu bersimpuh di depanku dengan tangis. Dengan setengah sadar kupegang kedua tanganmu lalu mengangkatnya. Kurasakan waktu melambat, kuresapi betul bagaimana halusnya tangan yang lima tahun lalu begitu mudah kuraih kini sudah jadi milik orang lain. Aku mencoba membimbingmu berdiri lalu duduk kembali di sampingku. Kuhela napas panjang, lalu mengangguk.
“Dengan satu syarat,” kupaksa senyum tidak ikhlas muncul di wajahku.
“Apa itu?”
“Ceritakan bagaimana hidupmu. Berikan aku bagian-bagian baiknya saja.”
Kau menyeka air matamu. Setelah napasmu kembali pulih, kau mulai bercerita.
Kini aku tahu mengenai bagaimana hidupmu, jelas kau sudah bahagia dengan suamimu yang berprofesi sebagai polisi dan dua anak kembarmu. Tidak jauh berbeda dengan dulu, kau juga masih senang berburu senja. Tawa dan celotehmu pun kembali seperti bagaimana kita saling bergurau kala remaja. Sesekali kucuri pandang wajahmu dan dadaku berdesir.
Dua jam sudah kita berbincang di taman Dewi Sartika, aku sadar bahwa tiap detik aku bersamamu maka aku akan tenggelam lebih dalam ke sebuah kolam nostalgia yang tidak akan bisa terulang.
“Apa Nana masih mencintaiku?” Aku terkejut dengan pertanyaanmu yang tiba-tiba, aku memilih diam. Tak pantas aku berkata aku masih mencintai wanita yang jarinya sudah berinang.
“Sebaiknya Nana jawab sekarang, suamiku sudah menjemput di depan.” Aku terdiam, lalu hening. Kau merapikan tasmu dan berdiri mematung seolah menunggu jawabku.
“Aku bercanda, Nana, aku harus pulang sekarang. Terima kasih sudah memaafkanku dan obrolan hari ini tidak akan aku lupakan.” Kali ini dengan senyum aneh kau ulurkan tanganmu. Kita bersalaman.
Setelah berpamitan kau melangkah, baru lima tapak kaki, kau membalik badan.
“Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?” aku menggeleng segera.
“Aku mengerti, Nana,” katamu sambil permisi dan pergi tanpa menoleh lagi. Kulihat dari kejauhan kau hampiri sebuah mobil keluarga berwarna hitam yang membawamu pergi dari kehidupanku. Dan sekarang tinggallah aku sendiri dalam rimba yang sepi.
Malang, yang tidak lekang waktu
Orang yang masih mencintaimu
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.