BELAJAR BARENG MASYARAKAT: TENTANG GARAM

ilustrasi blog.id

Sabda Shangkara — Garam (natrium chlorida) merupakan komponen yang mutlak ada didapur kita, ternak kita, bahkan aquarium. Tingginya permintaan pasar terhadap produksi garam seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, akan tetapi disamping tingginya angka permintaan terhadap garam, disisi lain ternyata garam memiliki segudang masalah-masalah yang kompleks. 

Untuk itu, sebuah studi sukarela diadakan selama 7 (tujuh) hari di Desa Rawaurip Kec. Pangenan Kab. Cirebon. Garam menjadi salah satu sektor produksi tradisional masyarakat pesisir Cirebon, malah menjadi sektor perekonomian terbanyak yang digeluti oleh masyarakat Rawaurip disamping menjadi seorang Petani Bawang Merah, Petambak Udang dan Bandeng, maupun menjadi Wiraswasta.

Menurut informasi dari masyarakat sekitar, area yang digunakan sebagai tambak garam merupakan tanah timbul yakni jenis tanah yang muncul ke permukaan karena menyusutnya air laut. Sebagian besar tanah-tanah timbul ini dikuasai oleh orang-orang asing yang konon mempunyai akses terhadap kekuasaan masa kerajaan, salah satu hal yang menarik masyarakat menamai area tambak garam dengan nama pemiliknya masing-masing jadi sangat mudah bagi peneliti untuk mengidentifikasi 'siapa' yang berkuasa dibalik kemegahan sektor garam di Desa Rawaurip ini.

Histori Sektor Garaman Di Desa Rawaurip

Dalam perkembangannya, sektor ekonomi garam di Rawaurip memiliki beberapa tahap perkembangan dari model produksi secara tradisional hingga model produksi secara modern atau komersil. Tidak jauh dengan sektor komoditas di Indonesia, sektor ekonomi primer mengalami perkembangan dari era sistem ekonomi subsistensi kemudian berkembang hingga ke arah komersial.

Pertama–masyarakat Rawaurip secara tradisional membuat garam dengan menggunakan media bambu, dengan caranya yang sedemikian rupa hingga menjadi garam. Kedua–lambat laun petani garam di Rawaurip mulai mengembangkan sistem produksi dengan cafa mengganti metode tradisional berupa media bambu diganti dengan wajan, dengan maksud garam yang di produksi bisa mendapatkan hasil yang lebih baik secara kuantitas daripada pola pembuatan garam secara tradisional.

Ketiga–Hingga semua kondisi makin berkembang dan semakin maju,  mulai muncul sebuah metode yang dinilai sangat efektif hingga saat ini atau menggunakan teknologi untuk menunjang aktivitas produksi di sektor pertanian garam, bentuk pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat Rawaurip adalah dengan menggunakan tanah sebagai medianya dari yang semula menggunakan wajan.

Munculnya sistem produksi baru yang menggunakan metode produksi menggunakan tanah memunculkan sistem baru juga; yakni munculnya sistem sewa terhadap lahan-lahan garaman dengan harga sewa sesuai dengan kesepakatan awal antara kedua belah pihak. 

Selain sistem sewa ada pula sistem permodalan yang menggunakan sistem maro atau 'bagi hasil' yaitu pihak yang mempunyai tanah sebagai modal pokok menanggung semua alat-alat produksi sehingga pihak pengelola hanya berperan sebagai operasional kemudian ketika panen raya keuntungan tambak garam akan dibagi menjadi dua. Bahkan, di Pengarengan (Desa sebelah Rawaurip) ada sistem Mertelu, sistem ini tidak ada di Rawaurip praktisnya, sistem mertelu ini kebalikan dari sistem maro tadi.

Memproduksi Garam Konsumsi ala Masyarakat Rawaurip

Dalam praktiknya, lahan satu kopang (satu Ha lebih) bisa memuat 8 petak. Bisa anda bayangkan ada kotak besar dan di dalam kotak tersebut terdapat lahan yang di petak-petak, kotak yang melingkupi petak-petak itu dinamakan kopang menurut penyebutan masyarakat lokal. Menurut penuturan Dede (27) beliau merupakan warga lokal di Desa Rawaurip yang membantu orang tuanya memproduksi garam. Prosedur membuat garam konsumsi adalah dengan cara mensirkulasi air garaman di setiap petak, semakin lama air tersebut mengalir maka semakin tua, yang artinya semakin mendekati air tersebut menjadi garam.

ilustrasi blog.id

Sirkulasi air tersebut menggunakan pompa air, sebelum menggunakan pompa dahulu masyarakat Rawaurip menggunakan Gobagan (Pompa air manual) untuk memindahkan air dari penampung air garam ke petak-petak lahan, akan tetapi sekarang petani garam menggunakan teknologi kincir sebagai pengganti pompa gobagan tersebut. Teknologi kincir dikenalkan oleh warga asal Rembang yang memperistri salah satu warga di Desa Bendungan (Desa Sebelah Selatan Rawaurip). Hal demikian tentu tidak lain bertujuan untuk mempermudah pekerjaan petani garam.

Asror (30) yang juga pernah menjadi petani garam, menyebutkan bahwa pada intinya modal utama dari garam adalah "Niat" tentunya selain memiliki modal-modal awal dari penggaraman itu sendiri. (Maksudnya sangatlah mudah untuk membuat garam) Namun kemudahan ini bukannya tanpa polemik tersendiri bagi petani garam. 

Salah satu dari sekian banyak masalah yang dikeluhkan petani garam adalah perihal penjualan garam itu sendiri, garam yang sudah di panen biasanya petani jual ke penimbang atau tengkulak. Penyetelan harga yang tidak sesuai di nilai sangat tidak berpihak kepada petani. Sehingga, beberapa penggarap lahan garaman seperti Bapak Ismail Marzuki mendesak untuk adanya standarisasi harga garam (HET).

Ketidakpuasan petani garam terhadap harga garam itu sendiri bukan tanpa alasan, pada tahun 2003 harga garam sempat turun pada angka 15 perak/Kg yang artinya satu ton adalah 15,000 rupiah. Belum lagi untuk membayar kuli-kuli panggul, dan karung. Strategi penjualannya ialah, petani garam biasanya menyimpan garam tersebut di dalam gudang lalu garam tersebut akan di jual ketika musim penghujan, pada musim penghujan harga garam bisa 500 perak/Kg.

Bapak Ismail Marzuki menambahkan, bahwa garam yang ada di Rawaurip adalah termasuk garam konsumi, karena kadar Nacl (Natrium Clorida) di bawah 94% sedangkan industri farma membutuhkan garam dengan kadar Nacl diatas 94%, untuk mengentaskan permasalahan tersebut petani garam membutuhkan geomembran.

Comments