Dokumen pribadi |
Penulis melewati masa kanak-kanak seperti pada umumnya. Menghabiskan sebagian waktu di sekolah dengan jajan gosokan berhadiah, bermain bola dan sisanya dihabiskan untuk mengaji di mushola samping rumah kemudian menyerbu pedagang cilok atau tahu gejrot setelahnya. Hanya itu yang dilakukan penulis, tidak lebih.
Hingga pada suatu waktu, keadaan memaksa penulis untuk meninggalkan zona nyamannya di kampung halaman. Entah apa yang mengilhami orang tua penulis begitu saja ia menitipkan anak laki-laki pertamanya ini untuk hidup di pesantren. Sial! Ini pesantren bung!! bukan asrama.
Kebiasaan baru itu cukup mengguncang mental penulis saat itu. Benar-benar kalut suasananya, sungguh!. Untuk pertama kalinya penulis diperkenalkan dengan serumpun teori-teori gramatikal bahasa arab, dipaksa menghafal bait-bait nadzhom lengkap dengan amil–isim–fi'il–fa'il dan banyak hal lain yang sama sekali tidak penulis mengerti.
Menangis, gak betah, ingin boyong (pulang kekampung halaman), adalah mukadimah kisah penulis berkiprah di pondok pesantren sisi barat kota udang. Kondisi itu hanya ditahan, coba dinikmati penulis secara perlahan–setidak-tidaknya sampai imtihan (Kegiatan diakhir semester pondok pesantren).
Uniknya, menjelang imtihan pengasuh melibatkan penulis untuk bersama-sama dengan para santri senior dalam mempersiapkan acara imtihan. Disitulah mungkin untuk pertamakalinya penulis belajar berbicara dimuka, menyampaikan pendapat, serta mendengarkan.
Keterampilan-keterampilan dasar itu justru yang lebih digeluti penulis. Secara tidak sadar, penulis merasa sikap kepemimpinan betul-betul dibentuk dan ditempa dengan bijak dalam naungan pondok pesantren.
Hingga tahun ke tiga setelah penulis bergelut dipondok pesantren. Tibalah saat penulis ditunjuk menjadi ro'is asrama untuk para santri laki-laki. Ini gila! Bagaimana jadinya mekanisme pesantren dipimpin oleh seorang santri yang datang karena terpaksa, mengaji tidak mumpuni, hafalan 'bak air di daun talas. Kacau!.
Satu keyakinan penulis, "jika benar bahwa hidup adalah pentas drama, maka hendaklah berperan sebaik mungkin. Tertawalah, menangislah, dengan tangisan perayaaan yang pasti!". Dengan demikian, penulis coba menapaki jejak-jejak para veteran pesantren, mencoba mereplikasi serta menerapkannya dalam mengepalai situasi kala itu.
Suatu waktu dalam perenungan dan pengendapan panjang penulis. Banyak hal yang sudah dilakukan, akan tetapi rasa-rasanya masih sangat rentan akan kegagalan. Daripada itu, kepemimpinan ternyata bukan hanya soal memerintah melainkan juga membangun kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif tidak hanya dibentuk dengan satu visi melainkan terdiri dari kesamaan semua persepsi, kesamaan kepentingan, tendensi, dan lain-lain. Membaca pola-pola demikianlah menjadi titik tolak penulis dalam menghabiskan sisa-sisa masa pengabdian penulis di pesantren.
PESANTREN : LEBIH DARI SEKEDAR PESAN-TREND
Hal yang jarang difikirkan oleh para wali santri tentang pesantren adalah bagaimana peran serta pesantren dalam perkembangan psikologis para santri. Anggapan tersebut didasarkan pada stereotipe bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan kuno yang mempunyai visi menyoal disiplin ilmu agama (Tafaqquh Fii-ddien).
Situasi di pesantren justru lebih daripada itu. Intensitas interaksi antara para santri yang berasal dari berbagai daerah memaksa santri yang satu dengan yang lain diharuskan untuk melakukan penyesuaian kebiasaan, bahasa, sikap, dan lain sebagainya.
Keberagaman antar santri tersebut justru bisa terjadi dengan lebih kompleks. Pasalnya, latar belakang keluarga juga turut serta mempengaruhi mekanisme perkembangan psikis maupun psikomotorik para santri. Misalnya, santri dengan latar belakang keluarga dengan perekonomian yang lebih mapan dapat memberikan berbagai macam empirismenya dalam menggunakan media belajar yang visioner.
Dalam hal ini, para santri dengan latar belakang ekonomi mapan dapat memberikan suatu pengalaman baru dalam menggunakan teknologi. Sehingga para santri yang tidak mengalami hal serupa dapat memperoleh pengetahuan baru pula tentang penggunaan teknologi sebagai media belajar.
[BERSAMBUNG]
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.