Pengabdian Kampus Untuk Siapa?

SABDA SHANGKARA - Narasi pengabdian masyarakat mencuat akhir-akhir ini. Keadaan demikian dimulai setidak-tidaknya setelah terbit undang undang No. 20 tahun 2003 pasal 20 tentang sistem pendidikan nasional yang mewajibkan civitas Perguruan Tinggi untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Terbitnya kebijakan tersebut berharap besar pada sumbangsih lembaga pendidikan tinggi dalam penerapan ilmu pengetahuan maupun teknologi untuk mewujudkan cita-cita bangsa; "memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa"
Dalam masyarakat kapitalis, kebijakan tersebut justru lebih cenderung dicederai dengan transaksi laba antara perguruan tinggi dengan elit-elit sasaran pengabdian. Anggaran tahun 2021 misalnya, sebanyak 10 Kampus menerima 54,8 miliar dari Kemenristek/BRIN untuk mendanai agenda penelitian dan pengabdian masyarakat. Kucuran dana sebanyak itu diharapkan agar adanya peningkatan kualitas penelitian maupun pengabdian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia.

Besaran anggaran tersebut masih saja kurang sebagai ongkos lembaga pendidikan untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada kehidupan yang sejahtera. Bisa diamati, banyaknya pengabdian yang dilakukan oleh akademisi belum bisa memberikan pengaruh besar terhadap publik dalam hal kedaulatan ruang hidup; baik berupa aktivitas ekonomi, budaya dan sebagainya. 

Dewasa ini praktik-praktik pengabdian lebih condong sebagai  job tambahan kampus dengan menyusun program pengabdian sehingga keberlangsungan agenda tersebut tidak berkelanjutan. Masalahnya, kegagapan praktik pengabdian masyarakat yang demikian dianggap sudah menjamur dan terus dibudayakan dengan mapan sehingga menimbulkan dampak-dampak buruk terhadap kepercayaan publik. Keterangan tersebut didapat dari sebagian kalangan mahasiswa yang menyibukkan diri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengabdian. [Wawancara, 2022]

Logika pengabdian di Indonesia masih saja belum mampu menjawab carut marut kehidupan masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat kerap disandingkan dengan aksi-aksi pemberdayaan sosial, sehingga kedua peristilahan tersebut mengalami banyak sekali pergeseran makna. Pemberdayaan maupun pengabdian kini lebih berkonotasi sebagai program dan mengharuskan 'orang luar' untuk membawa sesuatu yang baru agar menciptakan perubahan di masyarakat. Padahal, pemberdayaan maupun pengabdian bukan hanya tentang bagaimana merubah suatu komunitas, melainkan juga memuat pengertian bahwa pemberdayaan juga  mengarah pada konservasi sumber daya dan memperjuangkan hak hak ulayat agar tetap  berdaulat atas kehidupan komunitas itu sendiri.

Pergeseran makna pengabdian yang dikerdilkan sebagai program itulah yang masih harus dielaborasi lebih jauh oleh akademisi. Dengan konstruksi program yang dibungkus sebagai pengabdian, agenda-agenda pemberdayaan yang dilakukan dimasyarakat beresiko hanya sampai pada ceremonial saja, belum menyentuh bagaimana keberlangsungan kegiatan. Secara prinisip, visi kegiatan pengabdian maupun pemberdayaan masyarakat harus tidak memunggungi kepentingan orang banyak, setiap aktivitas yang dilakukan bersama masyarakat harus mengarah pada apa yang benar-benar ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.

Comments