Lautan Api-api | Kilas Balik Sosial Ekonomi Masyarakat di Pesisir Cirebon

SABDA SHANGKARA - Brayo merupakan sebutan umum bagi masyarakat pesisir Cirebon yang menunjuk pada salah satu jenis mangrove dari sekian banyak populasi mangrove yang ditanam di bibir pantai Desa Mundu Pesisir, Cirebon. POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) Mundu Pesisir mengatakan bahwa Brayo merupakan sebutan masyarakat lokal untuk jenis tanaman mangrove Api-api. Jenis tanaman Api-api masuk pada kingdom plantae dengan genus avicennia L atau dalam bahasa latin, Tanaman Api-api adalah avicennia germinans.

Potret masyarakat nelayan menjaring ikan didekat mangrove

Keberadaan tanaman mangrove sangat bermanfaat bagi masyarakat yang bermukim diarea yang dekat dengan laut, pasalnya tumbuhan ini mampu mereduksi resiko banjir rob maupun abrasi permukaan laut. Selain memiliki nilai fungsi ekologis, menurut masyarakat sekitar serta media pemberitaan tanaman ini juga bisa dikonsumsi. Misalnya, masyarakat Demak biasanya memanfaatkan Brayo untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kripik yang  diolah menjadi kudapan khas di wilayah tersebut. Jadi, secara tidak langsung Brayo juga mempunyai nilai ekonomis yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Di kawasan pesisir Cirebon, tepatnya di Desa Mundu Pesisir Blok Karang Ketapang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon, tanaman api-api ini merupakan salah satu prioritas konservasi hutan mangrove Mundu Pesisir karena sebagian masyarakat masih menganggap bahwa tanaman Api-api bukan termasuk mangrove yang dijaga ketat oleh pemerintah. Blok Karang Ketapang sendiri hanya berjarak sejauh kurang lebih 200 M dari bibir pantai, sehingga kawasan inilah yang mempunyai tingkat kerentanan resiko yang cukup tinggi terkena dampak banjir rob.


Dari total responden yang dimintai keterangan, lebih dari 90% masyarakat sepakat bahwa mangrove (Brayo) sangat bermanfaat bagi ketahanan pemukiman mereka dari banjir rob. Selain kesadaran akan manfaat api-api dalam mereduksi banjir, sekitar 40% masyarakat Desa Mundu Pesisir mengetahui bahwa kawasan serta tumbuhan api-api atau Brayo termasuk tanaman yang dikonservasi atau dilindungi. Artinya, tanaman tersebut mau tidak mau harus terus terjaga kelestariannya.
Bapak NS (inisial) merupakan pria paruh baya yang berusia sekitar 48 tahun, beliau termasuk pelopor dari gerakan peduli mangrove dalam agenda konservasi hutan mangrove di Mundu Pesisir. Bapak NS merupakan satu dari sekian banyak pendatang yang menetap di Mundu Pesisir, beliau berasal dari Pulau penghasil garam nasional yang juga kini masih tetap bergelut disektor maritim di pesisir Cirebon; Nelayan tangkap. Kepeduliannya terhadap mangrove didorong atas kesadaran pentingnya peran hutan mangrove untuk ekologi serta upaya peningkatan ketahanan bencana dimana beliau hidup dengan keluarganya juga sekitar 5.875 individu lain di Mundu Pesisir.

Berangkat dari kepeduliannya itu, ia mengetuai POKMASWAS kemudian mendirikan pariwisata berbasis edukasi dengan kucuran dana dari pemerintah Kabupaten senilai 250 Juta Rupiah. Akan tetapi kini wisata tersebut tidak terawat dan hanya difungsikan sebagai tempat istirahat nelayan dalam memantau perahu yang tengah terparkir saat cuaca sedang badai.

Berdasarkan butir pertanyaan yang penulis bawa saat itu, terdapat butir pertanyaan yang mengarah pada 'seberapa berdampak-kah pariwisata mangrove dalam peningkatan pendapatan masyarakat?' jawaban dari sebagian responden  sangat tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ternyata, keberadaan pariwisata hutan mangrove hanya berpengaruh beberapa persen saja bagi responden yang menjawab "Zona Kasih Sayang" itu dapat menjadi daya dukung dan memberikan dampak secara signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat yang mempunyai warung disekitar mangrove. Lebih lagi area yang jauh dari kawasan pariwisata blok Glindingan misalnya, masyarakat blok Glindingan bahkan sama sekali tidak merasakan manfaat secara ekonomis dari berdirinya pariwisata mangrove sejak 4 tahun silam.

Sentimen-sentimen kerap dilayangkan kepada Bapak NS bahwa adanya pariwisata tersebut hanya syarat kepentingan akan pribadi maupun golongan tertentu. Mengingat pemukiman yang dihuni lebih dari 5000 penduduk ini merupakan Tanah Timbul yang masih dipertanyakan penguasaanya hingga saat ini. Kerap kali sentimen itu muncul didasari atas perbedaan kepentingan penggunaan lahan di area yang kini masuk kawasan konservasi tersebut. Sebut saja Bapak B, yang melayangkan setumpuk umpatan kepada penulis yang saat itu hendak menumpang istirahat dipelatarannya. Usut punya usut, Bapak B merupakan seorang peternak kambing yang kandangnya terletak di area konservasi sehingga menyatakan oposisinya secara terbuka terhadap bapak NS.


Di lain kesempatan, penulis bertemu dengan salah satu warga yang berprofesi sebagai nelayan di Blok Glindingan. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada sepeserpun ia dapatkan keuntungan dari adanya mangrove, walaupun di lain sisi beliau juga mendapatkan manfaat dari adanya mangrove berupa berkurangnya resiko banjir rob yang masuk ke pekarangan rumahnya. Beliau memberikan keterangan lebih lanjut, secara pribadi ia menyatakan konsensus bahwa mangrove mempunyai manfaat terhadap beberapa hal; akan tetapi dampak negatif yang ditimbulkan juga tentu sebanding dengan manfaatnya.

Menurut sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai seorang nelayan, perluasan area mangrove menuju garis pantai berpengaruh pada jangkauan nelayan mundu pesisir dalam  menjaring ikan. Artinya, semakin banyak mangrove yang ditanam maka semakin mengecil pula fishing ground nelayan-nelayan tersebut yang merupakan sumber nafkah untuk keluarganya. Lebih lanjut menurut nelayan, perluasan mangrove juga dinilai mempercepat mengikisnya jumlah populasi profesi nelayan. Hal ini disandingkan dengan bagaimana PLTU yang berjarak beberapa mil dari fishing ground nelayan mundu bisa berpengaruh terhadap penurunan hasil tangkapan dari tahun ketahun. 

Sejauh ini, praktik konservasi hutan baik digunung dan dilaut masih saja menuai kontroversial dimasyarakat. Agaknya, masyarakat adat yang hidup dihutan-hutan nusantara menampar orang-orang modern. Banyak sekali hal yang harus dicontoh  dari masyarakat adat, misalnya masyarakat adat Ammatoa Kajang, Sulawesi Selatan. Selain sebagai kelompok sosial yang menghasilkan emisi yang rendah, orientasi pemanfaatan terhadap sumber daya yang diatur dalam hukum hukum adat tentu lebih mementingkan kemaslahatan umum.

Hal yang harus diprioritaskan dalam praktik konservasi seharusnya menekankan pada upaya menjaga suatu kawasan tanpa mengesampingkan hak-hak ulayat yang hidup dan merusak proses peradaban yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun diwilayah tersebut. Jika demikian, maka maksud baik untuk melindungi bumi sebagai ruang hidup tidak lebih dengan praktik ecofascism yang hanya peduli atas terjaganya suatu kawasan tetapi mengesampingkan 'peradaban manusia' didalamnya.

Seyogyanya, praktik konservasi haruslah seimbang sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat umum yang hidup didalamnya. Dalam hal ini, praktik konservasi mangrove baik berupa program maupun bukan, harusnya maksud baik tersebut perlu dipertimbangkan dengan khalayak umum. Didalam konteks inilah partisipasi antar masyarakat menjadi penting untuk dirawat agar tidak menimbulkan konflik antar elemen masyarakat.

Dalam perspektif keislaman, segala sumber daya merupakan nikmat Allah SWT untuk umat manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Jastiyah:13. 

Comments