SKRIPSIMU, UNTUK SIAPA? - Menjadi mahasiswa tingkat akhir memang lagi gencar-gencarnya ngomongin skripsi. Omong-omong soal skripsi, kata ini sangat 'shahih' dalam mempengaruhi perilaku mahasiswa. Kadang ketika lagi ngomongin skripsi, ada saja kawan yang langsung menganggapnya sebagai 'sesuatu' yang sangat tidak mungkin untuk dicapai, adapula kawan-kawan yang menjadi bersemangat, pokoknya macam-macam. Tetapi bagian menariknya bukan dalam hal perbincangan lika liku pencapaian skripsi, tetapi yang menjadi 'daya tarik' dari skripsi adalah yang diurai dalam pertanyaan; "mau apa kita dengan skripsi?".
Penulis sendiri tidak pernah terfikirkan hal demikian sama sekali sebelumnya, secara spontan terbersit dalam fikiran penulis tebtang apa sebenarnya motif penulis dalam mengerjakan skripsi berjudul bla-bla-bla, menjaring relasi di (Calon) lokasi yang akan dijadikan untuk dilakukannya penelitian, bahkan sampai harus mempelajari betul bagaimana strategi komunikasi yang persuatif agar penulis bisa diterima didalam suatu komunitas. Penulis belum benar-benar bisa menjawab pertanyaan tersebut selain; ingin cepat lulus. Tapi, penulis yakin, jika penulis hanya ingin cepat lulus tidak mungkin akan se-serius itu. Toh, orang yang ingin cepat lulus kemungkinan besar tidak akan sampai terfikir bagaimana agar penelitian yang dilakukan bisa berkualitas, tidak setengah-setengah dan yang paling penting; ada unsur untuk memperjuangkan ideologi dan tidak memunggungi catatan kisah panjang yang terjalin dalam hubungan peneliti dengan subjek penelitiannya.
Tulisan ini akan berbicara sedikit tentang hal-hal rancu yang nyata dirasakan penulis dalam proses pengerjaan dan gangguan mental pengerjaan skripsi. Selain itu, penulis juga berusaha mengurai bagaimana strategi yang ditempuh oleh penulis dalam menghadapi 'gangguan eksternal' saat mengerjakan skripsi. Mudah-mudahan, apa yang penulis catat ada hikmah yang bisa dipetik walau sebiji Dzarrah.
SKRIPSI; MEDIA PERJUANGAN IDEOLOGIS
Pernahkah kalian membaca judul skripsi kawan-kawan terdekat dan terbersit dalam fikiran "Oh, kawanku ini pemikirannya seperti ini, ya" sejujurnya, hal itu yang sering penulis lakukan akhir-akhir ini. Entah salah atau tidak, disadari atau tidak—penulis mengukur positioning seseorang didasarkan pada tolak ukur penelitiannya. Namun disamping argumen bantahan bahwa "ukuran pemikiran orang tidak ada kaitan sama sekali dengan judul penelitian" tetapi menurut penulis konteks penelitian sedikit banyaknya mewakili pemikiran penelitinya.
Sebagian besar kerabat penulis dikampus merupakan 'pelanggan tetap' paham-paham kesejahteraan dan keberpihakan pada kaum-kaum yang dianggap lemah, maka judul penelitiannya pun tidak jauh dari pemikirannya sehari-hari. Misal saja—kawan penulis yang namanya A, setiap hari si-A sering banget ngomongin hal-hal yang bertendensi pada fenomena 'pemiskinan' kaum-kaum proletar, maka judul skripsi yang si-A ambil adalah tentang gerakan-gerakan sosial (social movement) yang tentunya selaras dengan apa yang dibicarakan si-A saban hari.
Memang, penelitian yang hendak dilakukan bisa juga dilatar belakangi oleh ketertarikan individu terhadap suatu isu. Tetapi menurut penulis, tidak semua hal bersumber dari ketertarikan; ada juga hal-hal yang sebenarnya secara prinsip menyalahi atau bertentangan dengan pedoman-pedoman hidup calon peneliti, melainkan terdapat juga unsur 'intervensi tujuan' yang sengaja dititipkan oleh satu orang maupun kelompok. Prinsip ini, dipahami penulis sebagai bentuk ketidakberdayaan yang nyata. Diksi Intervensi yang dimaksud penulis dikesempatan ini adalah serangkaian 'aktivitas' yang bermaksud untuk 'mengarahkan', kooptatif dan juga projek pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang yang lain. Sehingga, kata intervensi dalam tulisan ini akan lebih mengarah pada konotasi negatif.
Sebagai mahasiswa yang berproses dan berkutat pada dunia-dunia sosial pedesaan selama bertahun-tahun, tentu sangat memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat-masyarakat rural di Indonesia. Kemiskinan dimasyarakat pedesaan mewarnai kohesi yang erat kaitannya dengan sistem sosial yang ada diwilayah pedesaan itu sendiri. Misal; mengakarnya sistem hubungan ketergantungan (patron-klien) antara masyarakat petani dengan bakul/tengkulak yang kerap dinilai sebagai hubungan yang tidak sehat. Berangkat dari hal tersebut penulis berupaya untuk mempelajari lebih rinci dan mengupas lebih dalam masalah-masalah menahun disuatu wilayah agar bisa dijadikan tolak ukur untuk menentukan ranah mana yang tepat untuk ditempuh.
Dengan upaya pendalaman pemahaman berbasis masalah, penulis berharap pada keadaaan yang menguntungkan bagi masyarakat banyak untuk melawan belenggu ketertindasan baik dari segi ekonomi, infrastruktur maupun sosial. Akan tetapi, bagaimana jika penelitian itu 'sengaja' dinilai sebagai tindakan yang sangat jauh sekali dengan asas-asas sosial di masyarakat pedesaan di Indonesia? Atau, bagaimana jika penelitian tersebut dianggap akan sia-sia jika tidak diawali dengan rekonstruksi ulang sistem-sistem yang menindas?.
Sederhana saja, dalam konteks penelitian perlu dibedakan dengan aktivitas pengorganisiran. Penelitian skripsi harus memposisikan peneliti pada poros vital tertentu agar memudahkan untuk agenda-agenda selanjutnya. Penelitian berbasis kebutuhan misalnya, dengan agenda jangka panjang sebagai modal awal dari gerakan-gerakan sosial dalam upaya-upaya kesejahteraan.
SKRIPSI; UTAS TRANSAKSI GELAR.
Tidak dapat dipungkiri, hingga kini masih saja terdapat mahasiswa yang memandang bahwa skripsi adalah serangkaian harga yang harus dibayar untuk sematan kata dibelakang nama. Hal itu tidak salah—kekhawatiran akan muncul menjelang menjadi seorang sarjana, kegagapan sistem pendidikan yang tidak dapat memberikan akses serta ketajaman kompetensi bertangggung jawab atas fenomena demikian.
Tidak dapat disalahkan, hidup dirumpun Margaret ini memang tidak ada jaminan-jaminan mendasar bahwa menjadi seorang sarjana bisa dijadikan sebagai modal awal untuk memperbaiki kehidupan keluarga. Mungkin anggapan ini salah, masalahnya—nilai inilah yang cenderung lebih banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Tidak jarang penulis maupun pembaca mendengar konsensus soal pendidikan adalah transaksi untuk masa depan—pendidikan merupakan upaya untuk peningkatan kualitas keluarga dan harapan-harapan lain yang kapitalistik.
Lagi, sebagai sesama juga, tentu tidak diperkenankan memberikan penghakiman dan seolah menentukan nasib dari sistem ini. Selagi masih saja belum bisa memecahkan masalah tersebut, mata rantai daur kapitalistik dalam hak produksi dan reproduksi pemahaman masyarakat terhadap sektor pendidikan akan terus menerus berlangsung hingga ketimpangannya benar-benar nyata.
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.