Sabda shangkara - menjadi mahasiswa tingkat akhir memang banyak drama, mulai dari urusan keuangan yang tiba-tiba menipis, mental yang mulai goyah, dihujani pertanyaan kapan nikah, kapan lulus dan yang paling sering; kapan kerja. Lebih lagi drama per-skripsian, mulai dari drama revisi sampai drama yang sering bikin mahasiswa mengeluh; dosen pembimbing yang tiba-tiba menghilang entah kemana.
Walaupun disebut-sebut sebagai drama oleh sebagian mahasiswa, tapi fenomena itu benar-benar terjadi dan menjengkelkan. Kehilangan kabar dari dosen pembimbing agaknya lebih bikin nyesek ketimbang kehilangan kabar dari kawan yang meminjam uang 20k tapi mendadak ditelan bumi, selagi dompet belum kempes-kempes amat. Tapi ini adalah tentang kehilangan dosen pembimbing, tidak salah membaca, dosen pembimbing hilang saat sudah memasukkan nama saya ke daftar temunya hari itu.
Bukan, bukan masalah nyesek karena sudah tersita waktu. Tetapi, nyesek karena dengan entengnya 'melupakan' janji temu mahasiswa yang berhari-hari menahan kantuk agar skripsinya segera usai.
Pagi pukul enam, tanggal dua puluh Oktober. Layar monitor di laptop menampilkan 'lampiran pedoman wawancara' yang merupakan bagian akhir dari rangkaian tulisan karya ilmiah kualitatif. Dua hari lamanya, mengejar agar ingin cepat usai rela menyita waktu istirahat. Orang-orang mungkin menganggapnya berlebihan, padahal samasekali tidak. Agaknya orang-orang belum mengerti rasanya buru-buru ingin cepat selesai.
Pukul tujuh, saya beranikan untuk berkabar dengan dosen. Walau setengah sadar dan kelopak mata yang menghitam karena sama sekali belum tidur. Singkatnya, saya dapat jadwal temu. Saya dapat jadwal di jam sebelas tiga puluh. Jadwal yang ciamik, bergegas saya keluarkan motor dan memanaskannya. Motor keluaran 2004 produk jupiter-z old itu saya bawa berjuang lagi.
Setengah terburu-buru, resah celingak-celinguk adakah pak pulisi yang sedang mengadakan razia, sebagai warga negara yang baik aku bayar semua pajak. Bumi, bangunan, izin mendirikan bangunan saya tunaikan kewajiban itu, kecuali kuda besi yang kutunggangi. Tibalah di kampus tanpa kendala, kampus sangat ramai ribuan mahasiswa hilir mudik dari fakultas dan duduk-duduk dipelataran kampus.
Tengok jam menunjukan angka sepuluh, bergegas menuju ruang dosen pembimbing yang ada dilantai dua. Ruang sakral yang sudah saya dambakan sejak lama, ruang yang harus dibayar dengan berhari-hari mengubah pola hidup dan menghitamnya kelopak mata, saya bayar hari ini!. Jam sudah di angka sebelas tiga puluh, aku coba masuk. Aku tanyai semua orang yang ada diruangan itu dengan sopan dan tak lupa aku senyumi mereka satu persatu. Semua pasang mata menyatakan konsensus; Dia tidak ada di ruangan, masih ngajar.
Aku masih berbaik sangka, aku kembali duduk di ruang tunggu. Dikursi yang banyak diisi dengan orang-orang yang mungkin sama nasibnya denganku. Orang-orang berpakaian kemeja, hitam putih dengan memangku lembaran-lembaran yang sudah di clip rapih sambil komat-kamit merapalkan teori-teori. Aku menunggu, tetap menunggu. Layar ponsel yang sudah kubuka tak terkira kapan nyala mati menanti sampainya kabar baik dari sang dosen.
Berjam-jam sudah berlalu, waktu dzuhur, ashar sudah berlalu. Aku tanyai lagi orang-orang yang ada diruangan; mereka tetap kekeh pada pendiriannya—menyatakan konsensus bahwa dosen itu masih ngajar. Aku kembali duduk, dan mencoba jurus pamungkas. Aku telfon dosen itu, aku dengar suara diseberang sana ramai. Aku tak peduli alasan-alasan yang keluar dari wanita paruh baya itu, diakhir percakapan Dosen bilang; Senin saja.
Segala umpatan aku pendam dalam hati, mengutuki nasibku yang umurnya habis ditelan aktivitas kampus. Semua itu kurangkum dengan; Brengsek!.
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.