"Survey United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% dari total populasi masyarakat Indonesia, artinya dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang saja yang membaca buku."
SABDA SHANGKARA - Rendahnya tingkat literasi Indonesia
didukung dengan pernyataan-pernyataan tertulis lembaga negara Indonesia. Surat
Keputusan (SK) dari Dinas Perpustakaan Republik Indonesia No.92 Tahun 2017 mengungkap
bahwa rasio antara jumlah penduduk dengan ketersediaan akses terhadap
perpustakaan masih sangat timpang. Pulau Jawa misalnya, dengan jumlah penduduk
terpadat di Indonesia sebanyak 145,143,600 Jiwa hanya mempunyai 74,181 bangunan
perpustakaan
Artinya, rasio antara penduduk dengan jumlah perpustakaan sebesar 1,957. Kondisi tersebut diperparah dengan kemajuan teknologi yang semakin cepat melampaui tingkat pendidikan, maupun pengetahuan. Sehingga, dengan iklim literasi yang rendah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia hanya akan dijadikan sebagai media propaganda dan penyebaran kabar palsu.
Kecakapan dalam berliterasi akan
mendorong masyarakat untuk bersikap skeptis terhadap sesuatu sehingga menekan
resiko negatif dari kemajuan teknologi informasi. Bagaimana tidak? Literasi
setidak-tidaknya memuat unsur-unsur keterampilan hidup (Gomez, 2008) walaupun
pada masa awal perkembangannya, literasi hanya sebatas diartikan sebagai
kegiatan membaca dan menulis
Meningkatnya kualitas bangsa
dalam berliterasi tentunya tidak hanya dapat dicapai dengan angka-angka hasil
survey, melainkan juga meliputi kepekaan terhadap ruang hidup dan identitas
suatu masyarakat yang dijadikan sebagai skala prioritas untuk meningkatkan
kualitas berliterasi. Dalam praktiknya literasi seringkali dipersempit dengan
mengartikan literasi adalah membaca, misalnya dengan memaksa saudara-saudara
yang ada di tanah Papua untuk membaca buku-buku yang terbit di Jakarta,
tentunya hal itu ‘mendiskreditkan’ literasi itu sendiri. Literasi tidak bisa
disempitkan dengan ‘membaca buku’ sama dengan atau sudah melakukan ‘literasi’
seperti riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan.
MENGGUGAT DISTORSI LITERASI
Literasi bukan hanya soal membaca
tumpukan buku-buku. Literasi adalah tentang suatu cara atau metode dalam
memahami suatu pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar sosial,
pendidikan, pengalaman bermasyarakat yang dapat diterapkan menjadi pedoman
hidup. Dewasa ini, anggapan sebagian orang bahwa literasi hanya tentang membaca
serangkaian kata-kata dan dijauhkan sama sekali dengan aspek-aspek fundamental
dalam hidup, salah satunya adalah kepekaan terhadap ruang hidup.
Mengutip salah satu ungkapan anak rimba yang dicatat oleh Butet Manurung dalam bukunya yang berjudul Sekolah Rimba berbunyi “Kita sudah sekolah, tapi kenapa hutan kita masih saja ditebang?” kira-kira begitu yang dicatat oleh butet. Pertanyaan tersebut menggambarkan keresahan seorang anak tentang betapa rakusnya ‘manusia pintar’ yang terus menerus memberikan tekanan kepada masyarakat kelas bawah.
Sebaliknya, masyarakat yang dianggap umum sebagai kelompok sosial yang tidak
berpendidikan formal dipandang jauh dari modern malah memperdalam
pengetahuan dengan maksud untuk melestarikan ruang hidup hingga menggunakan pengetahuan sebagai basis untuk mempertahankan
kehidupannya. Aktor dari dua kasus diatas tentunya dipengaruhi oleh apa yang
dikonsumsi oleh pikirannya, satu pihak yang mengejar kekayaan material dan
bersikap tak acuh terhadap lingkungan. Sedangkan pihak yang lain, memperlajari
dan memperkaya diri dengan berbagai macam pengetahuan agar bisa tetap bertahan
dan mempertahankan kehidupannya.
Secara prinsip, literasi tidak
dapat dipisahkan dengan proses pendidikan. Konsep pendidikan yang ideal adalah
proses transfer informasi yang berbasis kebutuhan dan tidak didominasi oleh
sesuatu (red: guru, orang, maupun konsep). Konsep yang ditawarkan Freire lebih
jauh mengungkap bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dialogis.
Pola pendidikan ini merupakan metode yang tidak memisahkan antara pengetahuan
dengan realitas, sehingga output yang dihasilkan adalah keterikatan antara
manusia dengan masalah-masalah hidupnya sendiri. Begitupun dengan literasi,
konsep literasi yang ideal tentu bukan hanya membaca buku, melainkan juga
proses transfer ilmu dengan dialog, dan lebih bertendensi pada kondisi yang
tidak hanya condong pada satu pengetahuan sehingga mendorong perilaku manusia
yang tidak individualistik.
Dapat disaksikan sendiri didalam kehidupan sehari-hari, degradasi kesadaran identitas sebagai manusia yang menempati suatu wilayah semakin nyata. Betapa kacaunya hal-hal yang disebabkan oleh dipisahkannya pendidikan maupun literasi yang dipisahkan dengan realitas masyarakat masing-masing. Masalah-masalah yang dirasakan oleh sesama di wilayah tempat tinggal bergeser dari yang semula menjadi masalah bersama kini menjadi masalah aparatur pemerintah, padahal jelas-jelas masalah tersebut dirasakan bersama. Tentu, hal itu disebabkan oleh dipisahkannya aspek pengetahuan terhadap realitas.
Jadi, Bagaimana?
Meningkatnya kualitas literasi
suatu bangsa akan berakibat pada peningkatan kualitas hidup bangsa itu sendiri.
Akan tetapi literasi tidak bisa disempitkan maknanya dan dibatasi dengan
hal-hal tertentu. Pada akhirnya, pembebasan terhadap literasi akan sangat
bermanfaat bagi upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Seyogyanya, literasi tidak hanya diidentikkan membaca buku, padahal literasi juga mencakup hal-hal yang sifatnya dialogis seperti diskusi, dan sebagainya. Juga, literasi haruslah beroirentasi pada masalah-masalah yang sangat erat kaitannya dengan hidup sehingga tercipta kesadaran kolektif dari suatu masyarakat.
Bahril, I. (2022, Mei 16). BisnisKUMKM.
Retrieved from Artikel: bisnisumkm.com
Pimpinan DPR RI. (2021,
4 23). DPR RI. Diambil kembali dari Parlementaria Terkini: https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32739/t/Minat+Baca+Bisa+Tingkatkan+Kesejahteraan
Wardani, S. (2021, 12
15). Kompasiana.com. Diambil kembali dari
https://www.kompasiana.com/sriwardani/61ba044062a7043255340e78/minat-baca-dan-literasi-indonesia-rendah-cek-fakta
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.