Mengeja IN-DO-NE-SIA

Tempo.co

"Survey United Nations Educational, Scientific And Cultural Organization menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% dari total populasi masyarakat Indonesia, artinya dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang saja yang membaca buku."

SABDA SHANGKARA - Rendahnya tingkat literasi Indonesia didukung dengan pernyataan-pernyataan tertulis lembaga negara Indonesia. Surat Keputusan (SK) dari Dinas Perpustakaan Republik Indonesia No.92 Tahun 2017 mengungkap bahwa rasio antara jumlah penduduk dengan ketersediaan akses terhadap perpustakaan masih sangat timpang. Pulau Jawa misalnya, dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia sebanyak 145,143,600 Jiwa hanya mempunyai 74,181 bangunan perpustakaan (Pimpinan DPR RI, 2021)

Artinya, rasio antara penduduk dengan jumlah perpustakaan sebesar 1,957. Kondisi tersebut diperparah dengan kemajuan teknologi yang semakin cepat melampaui tingkat pendidikan, maupun pengetahuan. Sehingga, dengan iklim literasi yang rendah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia hanya akan dijadikan sebagai media propaganda dan penyebaran kabar palsu.

Kecakapan dalam berliterasi akan mendorong masyarakat untuk bersikap skeptis terhadap sesuatu sehingga menekan resiko negatif dari kemajuan teknologi informasi. Bagaimana tidak? Literasi setidak-tidaknya memuat unsur-unsur keterampilan hidup (Gomez, 2008) walaupun pada masa awal perkembangannya, literasi hanya sebatas diartikan sebagai kegiatan membaca dan menulis (BisnisKUMKM, 2022). Kini, istilah literasi berkembang menjadi kemampuan-kemampuan dasar dalam menganalisa tulisan mulai dari yang bersifat sains hingga yang bersifat moral (moral literacy) juga kemampuan dalam berfikir kritis-analitis. Dengan demikian, tingginya tingkat literasi yang dicapai oleh suatu bangsa secara implisit akan meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa itu sendiri.

Meningkatnya kualitas bangsa dalam berliterasi tentunya tidak hanya dapat dicapai dengan angka-angka hasil survey, melainkan juga meliputi kepekaan terhadap ruang hidup dan identitas suatu masyarakat yang dijadikan sebagai skala prioritas untuk meningkatkan kualitas berliterasi. Dalam praktiknya literasi seringkali dipersempit dengan mengartikan literasi adalah membaca, misalnya dengan memaksa saudara-saudara yang ada di tanah Papua untuk membaca buku-buku yang terbit di Jakarta, tentunya hal itu ‘mendiskreditkan’ literasi itu sendiri. Literasi tidak bisa disempitkan dengan ‘membaca buku’ sama dengan atau sudah melakukan ‘literasi’ seperti riset yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan.

MENGGUGAT DISTORSI LITERASI

Literasi bukan hanya soal membaca tumpukan buku-buku. Literasi adalah tentang suatu cara atau metode dalam memahami suatu pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar sosial, pendidikan, pengalaman bermasyarakat yang dapat diterapkan menjadi pedoman hidup. Dewasa ini, anggapan sebagian orang bahwa literasi hanya tentang membaca serangkaian kata-kata dan dijauhkan sama sekali dengan aspek-aspek fundamental dalam hidup, salah satunya adalah kepekaan terhadap ruang hidup.

Mengutip salah satu ungkapan anak rimba yang dicatat oleh Butet Manurung dalam bukunya yang berjudul Sekolah Rimba berbunyi “Kita sudah sekolah, tapi kenapa hutan kita masih saja ditebang?” kira-kira begitu yang dicatat oleh butet. Pertanyaan tersebut menggambarkan keresahan seorang anak tentang betapa rakusnya ‘manusia pintar’ yang terus menerus memberikan tekanan kepada masyarakat kelas bawah. 

Sebaliknya, masyarakat yang dianggap umum sebagai kelompok sosial yang tidak berpendidikan formal dipandang jauh dari modern malah memperdalam pengetahuan dengan maksud untuk melestarikan ruang hidup hingga menggunakan pengetahuan sebagai basis untuk mempertahankan kehidupannya. Aktor dari dua kasus diatas tentunya dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsi oleh pikirannya, satu pihak yang mengejar kekayaan material dan bersikap tak acuh terhadap lingkungan. Sedangkan pihak yang lain, memperlajari dan memperkaya diri dengan berbagai macam pengetahuan agar bisa tetap bertahan dan mempertahankan kehidupannya.

Secara prinsip, literasi tidak dapat dipisahkan dengan proses pendidikan. Konsep pendidikan yang ideal adalah proses transfer informasi yang berbasis kebutuhan dan tidak didominasi oleh sesuatu (red: guru, orang, maupun konsep). Konsep yang ditawarkan Freire lebih jauh mengungkap bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dialogis. Pola pendidikan ini merupakan metode yang tidak memisahkan antara pengetahuan dengan realitas, sehingga output yang dihasilkan adalah keterikatan antara manusia dengan masalah-masalah hidupnya sendiri. Begitupun dengan literasi, konsep literasi yang ideal tentu bukan hanya membaca buku, melainkan juga proses transfer ilmu dengan dialog, dan lebih bertendensi pada kondisi yang tidak hanya condong pada satu pengetahuan sehingga mendorong perilaku manusia yang tidak individualistik.

Dapat disaksikan sendiri didalam kehidupan sehari-hari, degradasi kesadaran identitas sebagai manusia yang menempati suatu wilayah semakin nyata. Betapa kacaunya hal-hal yang disebabkan oleh dipisahkannya pendidikan maupun literasi yang dipisahkan dengan realitas masyarakat masing-masing. Masalah-masalah yang dirasakan oleh sesama di wilayah tempat tinggal bergeser dari yang semula menjadi masalah bersama kini menjadi masalah aparatur pemerintah, padahal jelas-jelas masalah tersebut dirasakan bersama. Tentu, hal itu disebabkan oleh dipisahkannya aspek pengetahuan terhadap realitas.

Jadi, Bagaimana?

Meningkatnya kualitas literasi suatu bangsa akan berakibat pada peningkatan kualitas hidup bangsa itu sendiri. Akan tetapi literasi tidak bisa disempitkan maknanya dan dibatasi dengan hal-hal tertentu. Pada akhirnya, pembebasan terhadap literasi akan sangat bermanfaat bagi upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Seyogyanya, literasi tidak hanya diidentikkan membaca buku, padahal literasi juga mencakup hal-hal yang sifatnya dialogis seperti diskusi, dan sebagainya. Juga, literasi haruslah beroirentasi pada masalah-masalah yang sangat erat kaitannya dengan hidup sehingga tercipta kesadaran kolektif dari suatu masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bahril, I. (2022, Mei 16). BisnisKUMKM. Retrieved from Artikel: bisnisumkm.com

Pimpinan DPR RI. (2021, 4 23). DPR RI. Diambil kembali dari Parlementaria Terkini: https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32739/t/Minat+Baca+Bisa+Tingkatkan+Kesejahteraan

Wardani, S. (2021, 12 15). Kompasiana.com. Diambil kembali dari https://www.kompasiana.com/sriwardani/61ba044062a7043255340e78/minat-baca-dan-literasi-indonesia-rendah-cek-fakta

 

 

Comments