GENDER DAN OBJEKTIFIKASI ORDE SOSIAL : SEBUAH PENGANTAR.

Sabda Shangkara - Gender bukan bersifat kodrati, melainkan hasil konsensus yang dikonstruksi oleh nilai-nilai kebudayaan, politik, agama, dan aspek sosial-ekonomi yang berakulturasi dalam suatu sistem masyarakat. Gender juga bukan soal (dia) laki-laki ataupun (dia) perempuan, lebih dari itu, isu gender lebih terkonsentrasi pada produk-produk yang dihasilkan oleh kebudayaan dan bagaimana cara kerja sistem tersebut dalam membatasi suatu kelompok sosial tertentu.


Orde sosial (social order) merupakan istilah yang berkonotasi pada ketertiban sosial. Artinya, sistem ini bekerja sebagai 'kontrol' suatu sistem yang sudah diproduksi sebelumnya. Pendekatan-pendekatan ini digunakan oleh sistem-sistem atau ideologi yang bersifat struktural seperti feodalisme, kapitalisme dan sebagainya. Sederhananya, sistem ini bekerja sebagai kontrol raja-raja agar kekuasaannya tetap dan bahkan berkelipatan dengan memanfaatkan konstruksi nilai budaya dan sebagainya.

Dalam disiplin ilmu sosial tidak ada suatu diskursus tertentu yang tidak terkait antara satu diskursus dengan diskursus yang lain. Disiplin ilmu sosial akan menjeneralisir suatu pengetahuan tertentu agar antar disiplin ilmu saling melengkapi satu sama lain. Semacam rubik atau potongan-potongan gambar yang berbeda tersusun dengan seksama, begitulah disiplin ilmu sosial bekerja kira-kira; menangkap pola kehidupan yang abstrak.

Salah satu Isu yang paling segar disoroti dalam ilmu sosial adalah; Gender. Issue gender terus muncul kepermukaan dari hingga era saat ini. Sebenarnya isu ini sudah muncul sejak abad Yunani dan Romawi Kuno, tepatnya ketika Plato menulis catatan tentang konsep dasar 'Republik'. Didalam catatan itu, Plato membunyikan mengenai partisipasi perempuan dalam suatu negara (red: Demokrasi). Berkembang pada abad pertengahan (Tahun 5-15 Masehi) yang dipelopori oleh gerakan Biarawati dengan cara mengorganisir kelompoknya sendiri untuk melawan dominasi Gereja. Atau pada Abad ke 14 tepatnya 1405 M seorang filosof dari Prancis; Christhine de pizan, mencatat dalam bukunya the book of city ladies yang bercerita tentang kehidupan utopis menempatkan perempuan memiliki kebebasan seperti halnya laki-laki.

Singkatnya, isu gender sudah diproduksi sejak ratusan tahub silam. Penekanan atas suatu golongan tertentu sudah menjadi 'malpraktik' yang berbahaya dalam sepanjang sejarah umat manusia di muka bumi. Sekarang pertanyaannya adalah—sebagai kaum abad mileniall, sudahkah mempelajari diskursus dan mengatasi kebobrokan sistem dominasi tersebut?.

Sederhananya, isu gender meliputi bahasan tentang peran individu terhadap keluarga, komunitas, maupun konteks masyarakat yang lebih luas. Didalam konteks mikro (red: Keluarga) terdapat perbedaan peran yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan, (Mezzo-masyarakat pertanian) kelompok buruh perempuan mendapat diskriminasi upah maupun (Makro) kelompok perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam pembangunan. 

Isu kesetaraan yang paling segar dalam aras ini perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga memengaruhi aspek-aspek psikologis, seperti laki-laki harus selalu mengalah sebagai tanda kasih sayang dan dibebani stereotipe bahwa marah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh kebudayaan. Marah dalam hal ini adalah pernyataan sikap mengenai ketidaksepahaman antara laki-laki dan perempuan. Padahal, kemarahan dipicu oleh sesuatu yang telah melanggar konsensus yang semestinya disadari oleh kedua belah pihak.

Sadar terhadap kesalahan atau dalam bahasa psikologis adalah penguasaan Id, ego dan super ego (Freud) ini sangat diperlukan dalam rumah tangga. Mewujudkan iklim berkeadilan dalam tatar mikro sangat bermanfaat untuk memanajemen konflik-konflik horizontal. 

- Bersambung -

Comments