Claisthenes - Panji kesadaran dikibarkan pertama kali tahun 507-508 SM dan akan terus dikenang sebagai abad kejayaan kesadaran berpolitik. Claisthenes menjadi jalan turunnya tangan dewa-dewa untuk menolong manusia dari jerat ketertindasan. Claisthenes harusnya meminum 'Ainul Hayat, hidupnya harus kekal abadi menyaksikan kejayaan pemikiran-pemikiranya. Konsepnya kini dipuja, pemikirannya dijilati oleh kekuasaan yang kini resah menemui ajal. Claisthenes dipaksa untuk tidur selamanya, pemikirannya kini dijadikan hijab dari tamaknya kekuasaan.
Claisthenes merupakan bapak dari konsep yang kita yakini, demokrasi. Sebuah paham politik yang didasari atas asas-asas kebersamaan. Suara publik adalah suara tuhan, Vox populi - vox dei. Begitulah kira-kira pemikiran Claisthen berkerja di era kontemporer ini.
Beberapa hari yang lalu, aku dengar berita yang menyesakkan hati. Kawanku, yang aktif menata pemikiran orang-orang dari jerat ketertindasan diancam dikeluarkan dari kampus. Sangat disayangkan, ruang demokrasi kampus sudah menjadi sejarah. Agaknya, demokrasi kini hanya dipergunakan ketika masa orientasi saja dalam praktiknya nihil.
Aku, ketika ikut acara orientasi mahasiswa baru yang diwajibkan kampus dulu. Aku Mengamini setiap perkataan para mahasiswa yang berteriak-teriak diatas panggung, rupanya ungkapan mereka masuk dan mendarah daging. Lambat laun, aku mencoba mengeja kembali apa yang aku pahami tentang demokrasi, membaca ulang buku-buku yang direkomendasikan bapak-ku dulu. Sebagai dasar untuk melafalkan demokrasi dengan fasih.
Hingga ketika-ku berada diposisi yang serupa, ternyata ungkapan yang aku agungkan yang berasal dari panggung orientasi dulu ternyata ungkapan biadab karena seruan mereka sama sekali tidak mencerminkan apa yang diperbuat. Realitas itu cenderung mencederai hati orang banyak, dengan memunggungi kepentingan mahasiswa untuk agenda-agenda pribadi satu koloni.
Hal itulah yang menggerakkan kawanku untuk bergerak atas nama kepentingan orang banyak, mencoba untuk meluruskan apa yang dikatakan lurus oleh penguasa. Mencoba membangun iklim berfikir kritis bagi mahasiswa yang sudah lama dicekoki paham-paham yang tidak sehat. Dari warung ke warung, dari mulut ke mulut. Kawanku mencoba mendengarkan suara-suara sumbang yang ada di tenggorokan orang-orang yang mulai tersadar kalau dirinya diasingkan oleh sistem.
Aku tak mempunyai kesempatan yang sama untuk membela hak-hak umum dengan lantang dengan megafon. Tidak seperti kawanku itu, keberanianku tak cukup banyak dibayang-bayangi beban-beban tanggungan sebagai seorang anak. Tapi, sebagai seorang manusia saya sadar untuk harus tetap bergerak menuju arah perlawanan dengan berbagai upaya. Mengelilingi desa-desa, memberi khutbah kepada seluruh elemen masyatakat agar tidak terjerembab pada pusaran pembodohan politik yang nyata.
Sehingga, aku dan kawanku mempunyai dua agenda yang berbeda dengan arah yang sama; mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas dalam bersosial, hingga cerdas dalam berpolitik. Didalam mimbar-mimbar, kawanku lugas menyatakan sikap dan penolakan bahwa sistem harus direkonstruksi, tanpa takut—ia berpegang pada demokrasi.
Sebagai negara hukum yang kuat, berbicarapun masuk kedalam isu Hak Asasi Manusia. Orang yang bicara dilindungi oleh negara, lebih lagi menyuarakan suatu masalah yang mau tidak mau, elit kampus harus mengakui bahwa sistemnya carut marut.
Orang-orang seperti kawanku ini berbahaya bagi kekuasaan. Begitupun Claisthen, berbahaya bagi dewa-dewa. Keduanya dikubur dalam keadaan hidup, ditenggelamkan kedalam bumi; tempat dimana sumber mata air pemahaman lebih deras disana.
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.