Cerpen: Pagi Berisik dan Pagi Yang Resah

Cerpen.
Pagi masih sayu, rembulan belum sempat untuk menyatakan pamit pada mentari. Embun belum saja mengubah dirinya sebagai air dan menyapa ilalang—padahal, hari belum saja terik akan tetapi semangat Samin sudah membara 'bak api yang dinyalakan pedagang Surabi di samping Fakultas Sosiologi itu.

Samin adalah mahasiswa yang memimpikan rahmat tuhan berupa negara yang berdaulat pada rakyatnya juga konsep negara yang adil dan beradab. Istiqomahnya, Hari-hari Samin akan menyambangi setiap mahasiswa yang berkumpul diwarung kopi yang sedang menunggu jam kuliah pagi, mereka menikmati kopi sembari berangan-angan 'tutorial menjadi Socrates, Anaximandros ataupun Rene Descartes' tentu, Samin datang membawa hikayatnya memesan kopi dan tembakau kemudian duduk menawarkan konsepnya mengenai tatanan negara yang ideal.

 "Selamat pagi, Bung!. Bagaimana kabar negara binaan kita pagi ini?." Celoteh Samin kepada mahasiswa yang tengah menyantap gorengan dan harapan nanti siang.

"Negaranya lagi gak baik, Bung. Rakyatnya lagi terdistraksi oleh perekonomiannya yang kolep. Jancuk itu, sektor panguripan rakyat dikuasai elit, pemerintahnya gak bermutu!." Sahut Doni sambil menahan pedas karena cabenya rasa buah bibir tetangga.

***

Ayam tetangga tengah menyampaikan salam hormatnya kepada malaikat pagi yang tengah turun merahmati manusia, pemuda terburu-buru menyiapkan sekumpulan doa-doa yang ingin dirapalkan—mengharap dengan bersimpuh—hidupnya seperti Hotman kelak, begitupun dengan harapan orang tuanya yang persis sama seperti itu.

Pagi hari-hari pemuda yang dinamai Zahwan itu diisi dengan asupan ceramah Ustad Kondang, harap ia agar hatinya dikuatkan. Menurutnya, hidup adalah cobaan dari pencipta dan harus diterima dengan lapang dada, walau cobaan itu dia tidak tau betul apakah benar-benar sifatnya adalah mencoba atau terus- terusan, pasrah saja.

 "Mudah-mudahan, kuliahku tak sia-sia. Bapak akan saya buat bangga, aku pengen beli tanah buat bikin kandang kambing nanti akan aku berdayakan orang-orang didesa, bapakku pasti jadi RT." Gumam Zahwan sambil menyuap nasi kuning dan gorengan dage.

"Srupuuutt, Aargghh. Macam politisi saja aku, pagi-pagi menyeruput kopi memikirkan jadwal, terimakasih mak, anakmu kuliah walau jual tanah." Komat kamit sambil nyawang pohon pisang yang setengah masak.

***

Jam kelas pagi tiba, Pak dosen Suprapto memasuki kelas sambil menenteng kopi tubruk lebihan pemberian mahasiswa ujian skripsi kemarin sore, argumen pamungkasnya Prapto wartakan kepada semua mahasiswa, katanya kopi itu bukan gratifikasi akan tetapi bentuk kecintaan mahasiswa kepada agen pengetahuan. Entah maksudnya apa, segelas kopi ia teguhkan ke halal-an nya. Pak Dosen Suprapto memulai pertemuan kuliahnya pagi ini, ia menyampaikan sabda tentang dampak pembangunan.

"Pak, mau tanya."
  "Oke, padahal saya belum nyampein kuliah,sudah nanya aja kamu, yaudah silahkan Min,  Samin!." Pungkas Suprapto sambil membuka Hpnya mengerlingkan muka.

  "Baik pak, pertama yang ingin saya sampaikan bahwasannya bertanya adalah kebebasan saya karena bapak bekerja untuk ditanya kemudian yang kedua bapak sebagai dosen bagaimana tanggapan Pak Prap terhadap harga-harga serba mahal ini, pak?." Samin berbicara sambil tangannya bergerak-gerak sebagai identitasnya orang pergerakan.

"Saya ada telfon sebentar, silahkan kalian diskusikan sendiri saja dahulu. Zahwan, coba kau jawab pertanyaan kawanmu itu." Perintah Suprapto yang konon grade-nya menyamai fatwa.

Samin memalingkan mukanya ke Zahwan, seolah bersiap untuk menerkam setiap kata-kata yang melintasi tenggorokan yang tidak dialiri kopi pergerakan itu.

 "Emm, Bismillah. Saya ingin menjawab pertanyaan saudara Samin." Gugup Zahwan

  "Suaranya kecil banget sih, Wan." tegur salah satu mahasiswi dikelas
 
 "Jadi kalau menurut saya, kebutuhan hidup yang naik, pertama karena takdir yang kedua karena ekonomi nasional hanya dikuasai segelintir orang, kan kita mah bukan siapa-siapa jadi wajarlah kalau terdampaknya buruk." Terang Zahwan yang setengah menasehati orang-orang yang melihatnya seksama.
 
Samin siap-siap meluapkan darah perjuanganya yang tengah mendidih.
"Bukan siapa-siapa bagaimana?! Jelas kita warga sipil punya sumbangsih besar terhadap pendapatan negara, ini kan jelas-jelas karena negara ini korup. Tolong yang kritis anda sebagai mahasiswa!."

  "Maaf, Min. Jangan ngomong sembarangan tentang negara kalau kamu mau masa depanmu aman." Zahwan hobi menasehati.

"CK!! Lemah, mana jiwa mahasiswamu, Wan. Kamu percuma sekolah tinggi yang kamu mau hanya menjilat pantat penguasa!." 

Disela perhelatan, Suprapto membawa Absen ke Kelas. Ia mendengar kegaduhan dari luar.
"Saya dengar, ada perdebatan antara Samin dan Zahwan. ya?." Tanyanya jelas

"Iya pak, debat negara!!." Sahut Sutri teman SMA Zahwan.

"Yasudah, Lanjutkan. Hari ini kita kuliahnya diskusi saja, ternyata Bapak ada rapat. Sutri, tolong absensi diisi ya!." Ia membrti fatwa yang kedua

Kelaspun, Bubar.
Bukan Kader Shangkara.
Ini Cerpen, Bukan apa-apa

Comments