Negeri yang Tersembunyi | Catatan Buninagara, 2021.

SABDA SHANGKARA - Masyarakat Buninagara mengartikan daerah tempat tinggalnya sebagai 'negara yang tersembunyi'. Setidaknya ada dua versi yang berkembang di masyarakat mengenai muasal Buninagara, sebagian masyarakat meyakini bahwa Buninagara berasal dari kata 'Minagara'. Sebagian yang lain meyakini bahwa Buninagara memang sudah menjadi nama asal daerah tersebut. Namun, Terlepas dari perdebatan tersebut—Buninagara merupakan sebidang tanah yang sangat menawan bagi setiap pasang mata yang menyambanginya.



Buninagara adalah desa yang terletak dibagian ujung kota angin Jawa Barat, Indonesia. Buninagara terletak dibagian selatan Majalengka dengan kode maps X66G+FQQ Buninagara, Majalengka Regency, West Java. Desa ini terkenal dengan produk-produk yang berasal dari tanaman Aren; gula aren, sapu, dan olahan-olahan lain berupa barang konsumsi yang berbahan dasar pemanfaatan Aren.

Sebagai desa yang jauh dari pusat kota, Desa Buninagara juga masih asri dan hasil bumi yang beragam. Salah satunya adalah Bambu, biasanya masyarakat memanfaatkan bambu untuk dijadikan berbagai macam bentuk anyaman seperti Caping, Kukusan, Hihid (Kipas Tradisional), bahkan masyarakat yang menganyam gribigpun masih dapat dijumpai di Buninagara. Gribig biasanya digunakan oleh masyarakat untuk digunakan sebagai tembok rumah. Mungkin, melimpahnya bambu di Buninagara-lah yang mendasari nama salah satu blok Buninagara sebelum dimekarkan; Ciawi (Red: Bambu).

Keragaman potensi yang dimiliki oleh Buninagara dinilai pemerintah desa sangat perlu untuk digali lebih dalam guna mensejahterakan masyarakat. Pemanfaatan dan optimalisasi potensi merupakan cara atau metode yang kerap dijumpai dalam praktik-praktik pemberdayaan sosial. Logika pemberdayaan biasanya dipakai sebagai moda transportasi untuk mengantarkan pemerintah desa, swasta, maupun sekelompok peneliti (berlembaga) untuk agenda-agenda pengentasan kemiskinan dan penyejahteraan masyarakat disuatu wilayah. 

Logika ini sering kali secara prinsip memposisikan masyarakat sebagai 'objek' bukan sebagai 'subjek' dari daur ketergantungan antara orang luar dan orang dalam lingkup suatu program penelitian, pengabdian, dan sebagainya. Hal ini berakibat pada kondisi tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam menentukan proses maupun hasil dari upaya-upaya pemberdayaan, padahal hal demikian  berkenaan dengan persoalan nasib masyarakat itu sendiri.

**

Penulis pada saat itu tergabung di salah satu project pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh salah satu Institusi Perguruan Tinggi dengan tema besar 'Program Pemetaan Potensi Desa Buninagara'. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa bulan, salah satu prosesnya mengharuskan semua 'aktor' untuk berproses bersama dengan masyarakat Buninagara selama tujuh hari—hingga tahap terminasi project tersebut berupa agenda FGD yang diselenggarakan oleh penyelenggara dengan melibatkan stake holder program.

Didalam project tersebut, penulis membingkai keadaan sosial–ekonomi masyarakat Buninagara dari berbagai usia; mulai dari usia anak-anak hingga lansia. Kemudian mengelompokannya dengan kesesuaian isu; pendidikan, budaya, sosial, politik, dan cerita tentang bagaimana masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk bertahan hidup. Seperti yang biasa dilakukan project pada umumnya, penulis dan tim adalah sebagai eksekutor dan hanya bekerja sebatas apa yang dibutuhkan oleh penyelenggara; memetakan potensi, mengambil gambar, bertanya, bersosialisasi dan melakukan penilaian hingga ke rencana tindak lanjut (RTL).

Disatu kesempatan selama tujuh hari di Buninagara, penulis bertemu dengan Ibu Yuyun beserta suaminya yang tengah melakukan aktivitas di sawah yang mereka miliki, penulis menyambangi keduanya yang sedang beristirahat setelah mencangkul lahan padi yang mereka kelola untuk menghidupi anak–cucunya. Kebetulan cuaca saat itu hujan deras, sehingga keadaan seakan mengharuskan penulis untuk bercengkrama lebih lama dengan kedua pasangan suami istri ini. Keramah tamahan masyarakat Buninagara memang sudah melegenda, derasnya hujan saat itu mengiringi tetesan nasehat, keresahan dan gurauan ditemani seduhan air nira hangat yang setengah masak.

Ibu Yuyun merupakan petani berusia 50 tahun. Beliau merupakan warga lokal yang memiliki luas lahan kurang dari 0,5 Ha yang ia gunakan untuk menanam padi dan sebagian lahannyang lain ditanami Cabai dan Singkong. Lahan pertanian yang dikelola oleh Ibu Yuyun menurutnya cukup untuk memenuhi kebutuhan primernya sehari-hari. Atau setidak-tidaknya beliau tidak pernah benar-benar kekurangan beras sebagai stok bahan makanan pokok selama musim tanam mendatang.

Namun, diakhir tahun 2021 Ibu Yuyun kerap kali mengeluh lantaran hasil buminya terus menuntut biaya modal produksi yang tinggi. Lebih lagi masalah pupuk, sebagai petani padi dengan dua kali panen tentunya ibu Yuyun memerlukan banyak kebutuhan pupuk dan obat-obat hama  agar pertaniannya bisa produksi secara maksimal. Di awal tahun 2021 Ibu Yuyun terdaftar sebagai bagian dari kelompok tani dan menunjukan kepada penulis setumpuk dokumen-dokumen dan tentunya; Kartu Tani.

Sesuai dengan janji presiden periode 2019-2024 saat masa kampanye menyatakan sistem terbarunya yang serba kartu. Kartu tani dianggap sebagai upaya agar distribusi pupuk subsidi lebih merata. Akan tetapi kenyataanya tidak demikian, arah kebijakan itu kini pada praktiknya hanya dinikmati oleh sekelompok orang-orang, para peneliti maupun mahasiswa yang berfungsi untuk kebutuhan konten-konten skripsinya. Tapi kebijakan itu tidak berpihak pada keluarga Ibu Yuyun beserta nasib petani gurem lain di Desa Buninagara, Malausma, Majalengka.

Kerugian-kerugian yang dialami oleh Ibu Yuyun berakar dari ketidakmampuannya dalam menambah kebutuhan pupuk untuk lahan yang ia kelola. Carut marut sektor penghidupannya saat ini mendorong Ibu Yuyun menjadi pribadi yang kini mengiba pada pemerintah. Besar kemungkinannya ia terkena candu janji ratu adil yang akan mengentaskannya dari jerat kesusahan, sejujurnya keadaan seperti inilah yang sangat penulis hindari dalam kerja-kerja sosial; memupuk jerat ketergantungan yang tidak sehat.

Masalah juga diperparah oleh kerja-kerja atas nama pengentasan kemiskinan akan tetapi lebih cenderung oportunis. Sejauh ini, model kerja sosial semacam ini lebih banyak ditemui penulis ketimbang praktik 'intelektual organik' yang berusaha tidak mencampuri urusan kantong dengan urusan ideologis, lebih lagi soal kemanusiaan. Agaknya praktik demikian hanya sebatas mengeruk cerita-cerita kesusahan masyarakat kemudian dijadikan sebagai konten dengan label ilmiah tanpa merubah keadaan apapun dilapangan. 

Benar ucapan suami Ibu Yuyun, dikesempatan yang berbeda penulis coba dekati lebih intens agar tahu betul tentang apa yang sebenarnya terjadi. Setelah beberapa hari, tibalah ia membuka segala keluh kesah maupun setumpuk keresahannya sebagai kepala rumah tangga. Salah satu kata yang masih diingat penulis hingga saat ini adalah; "ek naon ngarep di bere bantuan, nu penting mah sehat aing mah" atau kurang lebih untuk apa mengharap bantuan, yang terpenting adalah kesehatan.

Penggalan percakapan tadi menjadi teguran keras tersendiri bagi penulis. Pasalnya, sudah seberapa banyak-kah suami Ibu Yuyun ini menerima ketidakpastian yang diberikan oleh orang-orang yang berseragam, orang yang fasih bertanya tentang masalah kehidupannya tetapi hasilnya nihil. Hal demikian menunjukan betapa benar-benar nyata bahwa sistem kerja-kerja sosial di Indonesia hingga saat ini masih bermasalah dan tidak solutif.

Padahal, jika digunakan dengan baik. Kerja-kerja sosial masih menjadi obat paling mujarab untuk mengentaskan masyarakat dari jerat ketertindasan yang disebabkan oleh sistem yang tidak berpihak pada kemaslahatan orang banyak. 

Comments