S E B U A H P R O L O G
"La democracia es muy importante para la clase obrera en su lucha por la libertad contra los capitalistas".
BAGIAN I
MENGEJA PERUBAHAN
"Yang abadi adalah perubahan" -- merupakan ungkapan yang mapan digunakan untuk menggambarkan dinamika sosial yang terus bergerak menuju titik kesempurnaannya. Beberapa orang mengatakan bahwa sifat 'ambisi' yang mempengaruhi pergerakan individu maupun kelompok, ambisi merangsang manusia untuk terus menerus merasa tidak puas terhadap kondisi saat ini sekaligus memimpikan kondisi hidup yang ideal secara simultan. Maka, jalan untuk menempuh kehidupan yang ideal itu adalah melalui perubahan-perubahan mendasar baik meliputi perilaku, nilai, struktur sosial, maupun persoalan nasib.
Ilmu sosiologi sebagai salah satu diskursus yang berupaya untuk merekam dan mengurai pola perubahan sosial. August Comte berpandangan bahwa perubahan sosial adalah perubahan cara pandang manusia terhadap fenomena alam. Secara konsep, definisi tersebut kongruen dengan konsep the law of three stages yang mendeskripsikan proses cara pandang manusia terhadap fenomena alamiah.
Comte melakukan penegasan mengenai gambaran betapa dinamisnya manusia, ia menyoroti dari segi tahapan pengembangan berfikir suatu komunitas dalam perspektif melihat suatu Fenomena sosial. pertama, tahap Teologis secara sederhana dapat diartikan sebagai masa yang menunjukan cara pandang manusia terhadap fenomena alamiah berdasarkan keyakinan yang bersifat supranatural atau lebih bersifat kodrati. Selanjutnya, pemahaman masyarakat tentang suatu fenomena berkembang kearah Metafisis artinya masyarakat mulai mempercayai suatu kekuatan yang abstrak menstimulus serta menentukan peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini. Dari tahap metafisis, pengetahuan masyarakat berkembang menuju ke pendeskripsian terhadap suatu fenomena maupun gejala duniawi berdasarkan fakta-fakta ilmiah, berteori dan lain lain, tahap demikian disebut positivistik.
Sejatinya, perubahan sosial memuat bentuk perubahan mendasar dari 3 aspek kehidupan sosial (Suyanto, 2004) dimensi-dimensi tersebut adalah; struktural yakni perubahan-perubahan yang muncul dalam status dan peran dalam masyarakat. Kultural yaitu perubahan berupa kebudayaan yang bersifat material (teknologi) maupun non material (gagasan, nilai dan norma). Interaksional dimensi ini merupakan konsekuensi rasional dari adanya dimensi kehidupan sosial yang berubah misalnya konflik-konflik horizon maupun struktural yang menunjukan gejolak dari perubahan.
Banyak sekali perspektif yang menyoroti soal kompleksitas dinamika perubahan sosial. Salah satunya Karl Marx, Marx meramalkan perubahan sosial dengan meletakannya pada evolusi sejarah (sosio-historis). Dalam perkembangannya masyarakat bermula pada kondisi yang masih primitif kemudian berkembang ke masa perbudakan, sampai era kepemilikan privat.
Menurut analisis Marx, pada akhirnya sistem atau cara hidup kapitalistik disatu titik akan menemui antitesisnya yang ditandai dengan keruntuhan-keruntuhan atau gejolak dari penerapan sistem yang sudah mapan sehingga memunculkan apatisme dan kekecewan di masyarakat. Bentuk kekecewaan itu salah satunya dengan ditinggalkannya sistem kepemilikan privat kemudian mengganti sistem lama (kepemilikan privat) dengan sistem baru yaitu kepemilikan negara (sosialisme). Dari diskursus Marx setidak-tidaknya dapat diketahui serta memberikan gambaran secara lugas bahwa masyarakat akan terus menerus bergerak dalam rangka melakukan penyesuaian terhadap kondisi hidupnya.
Dalam praktiknya, proses perubahan sosial pasti bersinggungan dengan dimensi yang ingin ditanggalkan. Terkadang, perubahan sosial yang radikal (Revolusi) juga bersinggungan dengan isu hak asasi manusia. Menuntut pengorbanan atas darah, keluarga, bahkan nyawa. Pergolakan tersebut mengindikasikan pergerakan masyarakat dalam memimpikan hari esok yang lebih baik, kemakmuran maupun jaminan keselamatan.
Marx, mengidentifikasi perubahan sosial berdasarkan perspektif konflik dengan meletakkan faktor ekonomi sebagai titik pusat pusaran konflik. Teorinya mendikotomi masyarakat dengan membaginya pada dua kelas yang berbeda, (1) borjuis (kelompok pemodal) dan (2) proletar (kelompok buruh). Kedua kelas ini tentu sangat berbeda dalam menjalani hidup, cara pandang serta menyikapi fenomena sosial. Kaum Borju akan mempelajari dinamika pasar kemudian mereka akan menekan kelas buruh untuk terus menerus memproduksi barang/jasa dengan value oriented dan 'efisiensi' yang bisa menguntungkan kepentingannya.
Disisi yang berlawan kaum proletar ditekan oleh pemodal untuk tetap berproduksi dengan konsepnya yang bersifat self oriented, safety first dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kaum proletar memimpikan keadaan yang lebih baik dari kehidupanya saat ini, sehingga kedua golongan antara kaum proletar dengan borjuis akan terus berkonflik dan menimbulkan gejolak (pertentangan) dalam daur ketergantungan. Menurut Marx, perubahan sosial juga merupakan bentuk revolusi kaum proletar yang menjemput paksa hak-hak yang telah dirampas oleh kaum borjuis, ia menekankan bahwa perubahan sosial adalah tentang bergantinya cara hidup masyarakat yang feodalistik (Terpusat atau monarki) ke cara hidup kapitalistik (kepemilikan swasta), kemudian bermuara pada sistem sosialis (Tidak lagi kepemilikan privat).
Analisis Marx termasuk kedalam kategori teori lama dalam membaca hal-hal mendasar mengenai definisi, penyebab serta dampak dari diskursus dinamika sosial dari segi kacamata teori konflik. Perspektif yang lebih segar, Dahrendorf mengemukakan pendapatnya dengan cara mengidentifikasi penyebab perubahan sosial dengan cara membagi klasifikasi suatu komunitas berdasarkan alur kepentingannya dan juga relasi-relasi sosial dalam sebuah sistem yang kompleks.
URGENSI PERUBAHAN
Dalam konstelasi isu sosial, topik perubahan sosial selalu andil dalam setiap kesempatan. Perubahan sosial selalu berkaitan dengan dua frame yang berbeda. Misalnya konflik kepentingan diantara orang-orang yang mempunyai kekuasaan akses terhadap sumber daya dan orang-orang yang kontra terhadap kekuasaan. Disisi kelompok yang berkuasa saat ini tentu akan terus-menerus mempertahankan status quo, bertendensi untuk tidak menghendaki perubahan baik dari segi ekonomi maupun politik. Sebaliknya, kelompok yang merasa dirugikan dan terdiskriminasi oleh kebijakan yang eksploitatif misalnya, tentu akan lebih pro pada revolusi maupun perombakan kekuasaan (red Revolusi).
Secara implisit, keadaan sosial saat ini merupakan hasil produk kelompok-kelompok yang 'berkuasa' dengan arah yang sudah ditentukan berdasarkan kepentingannya tersendiri. Kemudian hal ini akan terus demikian menjadi daur perubahan sosial secara continue. Betapa tidak, secara teoritis perubahan sosial juga disebabkan oleh kondisi geografis atau lanskap wilayah yang berubah selain perubahan kuantitas penduduk (Baca: musabab perubahan sosial) maka, penggusuran maupun relokasi suatu pemukiman adalah bentuk nyata dari sebab dan dampak yang dirasakan masyarakat akibat perubahan lanskap tempat tinggalnya.
Secara prinsip, perubahan sosial harus berorientasi pada upaya-upaya pengembangan, pemberkuasaan, dan hal lain yang bertujuan untuk menciptakan kondisi sosial dari yang semula tidak menguntungkan masyarakat menjadi kondisi yang lebih menguntungkan masyarakat banyak.
Persoalan yang lebih besar akan muncul jika perubahan-perubahan sosial lebih cenderung pada penentuan sepihak oleh kelompok yang berkuasa dengan pelbagai instrumen kekuasaanya (red: kebijakan) kemudian menentukan kondisi yang hanya menguntungkan bagi kelompok dan mengesampingkan hak-hak masyarakat yang meliputi kebebasan untuk menentukan nasib dan sebagainya.
MENGELABORASI POSISI AKADEMISI DAN AKTIVIS KAMPUS.
Dalam konteks perubahan sosial, posisi akademisi termasuk mahasiswa menjadi penting untuk dikaji. Secara umum, mahasiswa sangat mumpuni untuk menjadi perancang program-program untuk merangsang perubahan sosial kearah yang lebih baik. Mahasiswa dibekali dengan pengetahuan seputar disiplin ilmu rekayasa sosial, diskursus program pemberdayaan maupun aksebilitas terhadap para pemangku kebijakan baik itu menjadi seorang analis kebijakan sosial dan sebagainya.
Mahasiswa memegang peranan penting dalam laju kehidupan masyarakat. Akan tetapi, dewasa ini siaran pemberitaan agaknya sangat mengecewakan. Sudah menjadi rahasia umum, beberapa mahasiswa memilih untuk menutup mata, pragmatis dan tak acuh pada persoalan-persoalan sosial, pengetahuan yang dikonsumsi dari diskusi-diskusi publik maupun ruang belajar hanya sebatas dikonsumsi untuk kepentingan pribadi.
Salah satu tulisan dari LPM Ideapress.com misalnya, Ia menyoroti hal-hal dibalik fenomena degradasi rasa kepedulian mahasiswa dari sisi interaksi terhadap lingkungan kampus maupun masyarakat disekitar tempat tinggalnya di daerah Semarang, Jawa Tengah. Menurut tulisan tersebut, kurangnya interaksi mahasiswa terhadap lingkungan sekitar adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap doktrin social control yang di gemborkan senior (aktivis kampus) ketika masa orientasi dulu. Kurangnya interaksi juga menandakan bahwa terdapat penurunan rasa kepekaan mahasiswa terhadap isu kemasyarakatan, salah satu fenomenanya adalah menjadi mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Kepekaan mahasiswa tentu terbangun atas dasar kesadaran melalui pengkajian, penelaahan maupun studi empirik dalam berkehidupan sosial. Melibatkan diri pada suatu organisasi maupun menjadi seorang aktivis kampus tentunya akan sangat bermanfaat dan menunjang proses interaksi yang mendorong rasa kepekaan sosial yang tinggi. Maka sebaliknya, mahasiswa yang berfikiran apatis dan samasekali tidak peduli terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat bermula pada kegagapan interaksi yang kemudian menumbuhkan jiwa yang asosial.
Maka untuk saat ini, sangat diperlukannya kesadaran kolektif semua elemen akademisi untuk lebih membuka diri dan pandangannya dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat. Juga, dirasa perlu untuk mengelaborasi doktrin social control sehingga posisi mahasiswa tidak mendominasi masyarakat dengan melenyapkan hak-hak fundamental masyarakat untuk terbebas dari belenggu penentuan nasib diluar diri, kultur, serta komunitasnya sendiri.
Ngerii
ReplyDelete