S E B U A H P R O L O G
BAB II
QAIDAH PARTISIPASI
- Romantisme Daulat Pada Kehidupan -
Picture by Unsplash.com
“Tanah yang paling subur untuk mengembangkan gerakan massa ialah masyarakat yang bersendikan kebebasan tetapi tidak memiliki alat penawar rasa kecewa.”
— Erick Hoffer —
PARTISIPASI— merupakan antitesis dari realitas modern yang menindas. Hegel dalam dialektikanya menggambarkan kebenaran serta 'pembenaran' pada rentang waktu saat ini merupakan tesis dari realitas, setiap kebenaran akan mempunyai kebenaran baru—setidak tidaknya ada hal baru yang mempersalahkan atas realitas tersebut (Red: Paradoks atau konsep Yin-Yang pada kepercayaan bangsa china) sehingga peleburan antara tesis serta antitesis akan menciptakan realitas kebenaran baru yakni sintesis. Proses tersebut akan terus menerus berlangsung hingga pada titik sempurnanya, pada titik dimana gong dibunyikan sebagai akhir dari irama gamelan yang mendayu maupun atraktif.
Konsep keterlibatan masyarakat (partisipasi) juga merupakan jawaban dari kegagalan pembangunan yang bersifat Top-down. Konsep pembangunan top-down merupakan cara atau metode yang diturunkan dari atas (Red: Pemerintah) diturunkan menjadi kebijakan sebagai dasar dari pengembangan suatu program yang diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Kritik terhadap konsep pembangunan top-down dalam perspektif Humanis mengartikan tidak adanya kebebasan suatu kelompok dalam menentukan arah pembangunan, sifatnya yang memaksa kerap menjadi sumber masalah-masalah baru yang tidak berkesesuaian dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Sebaliknya, konsep pembangunan people centered approach 'mengilhami' konsep pembangunan bottom up, yang merupakan konsep pembangunan terkonsentrasi pada pengembangan SDM serta pengembangan potensi sumber daya alam secara merata.
Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan subjek dalam suatu upaya transformasi sosial. Suryono pada tahun 2001 mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat (society) dalam upaya pembangunan, pengembangan, pemanfaatan serta penikmat dari apa yang dihasilkan. Pengertian yang coba dibunyikan oleh Suryono masih terlalu luas, partisipasi tidak akan bisa di samaratakan karena pada praktiknya terdapat banyak sekali bias. Deshler pada tahun 1985 mengklasifikasi partisipasi berdasarkan praktiknya; (1) Partisipasi teknis, merupakan aktivitas keterlibatan masyarakat yang dimulai dari proses pengidentifikasian masalah hingga pada pelaksanaan kegiatan. (2) Partisipasi semu/palsu, adalah praktik partisipasi 'dominasi' kelompok elite didalam suatu komunitas yang tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi. (3) Partisipasi murni, adalah proses keterlibatan masyarakat secara total dalam menilai serta upaya untuk mewujudkan perubahan yang dimulai dari kritisi terhadap realitas dan aksi mewujudkan perubahan keranah yang lebih baik.
Narasi keterlibatan rakyat dewasa ini mengalami penyempitan makna dalam menjangkau pengertian-pengertian yang kini seolah-olah menjadi terbatas. Pendiskreditan partisipasi dari yang semula berarti keterlibatan penuh masyarakat dalam menentukan nasib kini menyempit menjadi serangkaian keterlibatan dalam hal-hal teknis serta adanya anggapan bahwa masyarakat 'bukan ahli' dalam hal perencanaan serta pembentukan program pemberdayaan, sehingga sebagian besar arah perubahan sosial kini lebih ditentukan oleh pihak-pihak lain baik pemerintah, maupun lembaga-lembaga non pemerintah.
Kerja-kerja partisipatif dalam upaya pemberdayaan sosial dapat di klasifikasi menjadi 7 (tujuh) hal yang berorientasi pada pemberkuasaan sosial—atau, memberi kuasa penuh—dalam hal berkuasa atas kesempatan, perumusan kebutuhan, pengembangan gagasan, berkuasa terhadap institusi, sumber daya, ekonomi serta reproduksi—meproduksi ulang—kekuasaan-kekuasaan atas hidupnya sendiri.
Kaidah utama dalam kerja-kerja partisipatif bagi seorang pemberdaya ialah menjadi fasilitator yang tidak mendominasi proses. Fasilitator hanya menjadi pemantik dari proses perubahan yang dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri.
Menjadi fasilitator (Red Akselerator) merupakan kerja-kerja senyap, Roem menegaskan dalam bukunya yang bertajuk 'Mengorganisir Rakyat' bahwa seorang pemberdaya harus siap untuk terasingkan. Tidak sedikit 'para pengorganisir' dalam praktik mengupayakan perubahan adalah dengan gerakan grounding (gerakan bawah tanah), corak gerakan yang demikian harus benar-benar memastikan tidak ada dominansi seorang pemberdaya dalam memantik aksi-aksi perubahan sosial.
Ditemukan juga dalam narasi lain yang berusaha memposisikan 'fasilitator' kedalam status yang jelas. Hal demikian tentu bersifat 'value orienteed' dalam buku 'pemberdayaan masyarakat di era globalisasi' karya Jim Ife & Frank Tesoriero misalnya, menyebutkan bahwa posisi fasilitator bermuasal dari kebutuhan akan orang-orang asing atau yang sering dikenal dengan sebutan 'tenaga ahli'. Ife menjelaskan bahwa posisi fasilitator dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk di ranah kebijakan publik (public policy). Di negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (walfare state) posisi fasilitator lebih klinis dalam menangani persoalan masyarakat.
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.