BUDAYA DALAM PUSARAN KAPITALISME


S E B U A H  P R O L O G






“Culture of the mind must be subservient to the heart.”

- Mahatma Gandhi - 




A.    PENDAHULUAN

Globalisasi telah lama menjadi ratu adil bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan dibaluti semerbak wangi kemakmuran. Globalisasi digadang-gadang menjadi perwujudan tangan tuhan yang membuka gerbang antar bangsa melakukan pertukaran (transaction) baik berupa hasil bumi, hasil tanam, maupun peradaban.

Disrupsi kebudayaan semakin banyak dirasakan dewasa ini, tak lain globalisasi melahirkan sistem yang berbahaya untuk kelangsungan budaya bangsa Indonesia. Aktivitas meng-uangkan kebudayaan menjadi atraksi untuk kebutuhan rekreasi dalam logika pariwisata sudah menjadi kegitan yang biasa, bahkan kelangsungan budaya Indonesia kini tengah bertahan dengan gempuran prioritas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang semakin buta akan identitas kemajemukan bangsa Indonesia.

Betapa tidak, memprioritaskan pembangunan ekonomi menuntut pengorbanan hutan-hutan adat serta budaya yang dikonservasi sepenuh jiwa oleh masyarakat yang menghuninya, bahkan dalam beberapa kasus banyak sekali represifitas, pelanggaran HAM, kebengisan, serta ditanggalkannya sifat-sifat kemanusiaan turut mewarnai haru biru perjuangan masyarakat adat melawan kepentingan kaum kapitalis.

Paham kapitalisme sangat berbahaya dalam menggembosi budaya bangsa karena sifatnya yang materialistik. Paham ini bisa menggeser pemikiran dan prinsip masyarakat yang beradab menjadi masyarakat yang sekuler, pragmatis, krisis identitas, dan tak acuh pada nasib bangsa serta ruang hidupnya sendiri.

 

B. EKSISTENSI BUDAYA DAN KERUNTUHAN PERADABAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang majemuk, yang  terdiri atas pelbagai etnis, bahasa, ras, pengetahuan lokal, budaya serta adat istiadat yang tidak terhitung jumlahnya. Badan Pencatatan Sipil Republik Indonesia (BPS-RI) pada tahun 2020 mencatat negara Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 270,20 Juta jiwa dengan daratan seluas 1,9 Juta km2.  BPS menjelaskan bahwa tingkat kepadatan penduduk Indonesia adalah 141 jiwa per km2,[1] hal demikian memungkinkan intensitas interaksi serta mobilitas penduduk sangat tinggi, sehingga proses akulturasi budaya akan terus-menerus berlangsung dengan cepat.

Secara gramatikal konon asal muasal kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata bhuddi[2] yang berarti budi dan akal fikiran manusia. Dalam beberapa bahasa di dunia mengartikan kata budaya dengan artian yang berbeda, akan tetapi secara definitif mempunyai artian yang relatif sama yakni mengacu pada pengertian sebagai suatu pedoman hidup, cara berfikir, mempercayai, dan berperilaku[3].

Gerrtz mengemukakan pendapatnya dalam mendefinisikan kebudayaan, adalah sebagai berikut;

“Budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaan dan memberikan penilaian. Juga, merupakan suatu pola yang di transmisikan secara historis kemudian diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang simbolik”[4]

Keterkaitan antara budaya dengan religi mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mewarnai satu sama lain[5]. Agama merupakan dasar dari keyakinan masyarakat kemudian wujud dari kebudayaannya seperti ritual, tradisi maupun upacara adat akan mengikuti dan mengapung diatas sistem religi tersebut. Sebagai contoh, kebiasaan masyarakat jawa yang beragama Islam mengadakan tahlilan yang merupakan bentuk peleburan dari dua kebudayaan yang bersumber dari kepercayaan masyarakat yang ada di pulau Jawa.

Corak yang kental akan budaya dan dikenal sebagai masyarakat yang religus menjadikan budaya serta adat istiadat begitu mengakar di Indonesia. Kesakralan budaya Indonesia mengenai tradisi menghormati leluhur, mempercayai hal-hal magis, serta kearifan lokal yang memuliakan bentang alam akan tetap menjadi hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Romantisme tersebut hanya akan tetap lestari jika bangsa Indonesia mampu bertahan ditengah rongrongan badai perubahan dengan ajian pamungkasnya yaitu; kapitalisme.

Tidak mengherankan jika sekarang pemuda-pemudi Indonesia lebih menyukai budaya orang-orang barat serta mengadopsinya ketimbang mentaati perilaku yang dianjurkan oleh norma-norma di daerahnya sendiri, lebih memilih untuk menjauhkan diri dari wayang sebagai wujud kebudayaan kemudian mempersalahkan wayang yang dinilai tidak berinovasi, padahal pencapaian perasaan terhadap kesenian juga meliputi pakem, khad, atau batas-batas agar nilai-nilanya tetap luhur.

Kapitalisme membawa masyarakat kepada pemahaman yang individualistik, memisahkan antara kebudayaan dengan aktivitas ekonomi, lingkungan, serta aspek sosial maupun yang lain. Kapitalisme juga mampu menghapus budaya khususnya pengetahuan masyarakat lokal yang dianggap tidak berlandaskan atas bukti-bukti ilmiah. Terdapat banyak sekali bukti baik yang dibunyikan secara eksplisit maupun implisit yang menjelaskan bahwa kini bangsa Indonesia sudah dipisahkan dengan identitasnya sebagai masyarakat yang berbudaya. Bangsa Indonesia seolah-olah menikmati penggusuran tanah-tanah adat, mencela adat suku lain, menodai ritual adat, dan menganggap masyarakat adat adalah masyarakat yang dipenuhi tahayul serta berwawasan terbelakang.

C.HIKAYAT PEBUKITAN KROMONG CIREBON

Pebukitan Kromong merupakan nama kesatuan pebukitan yang terletak di bagian barat Kabupaten Cirebon. Secara keseluruhan pebukitan ini membentang dari ujung bagian selatan Kabupaten Cirebon Hingga Kabupaten Majalengka. Peradaban yang terlukis di pebukitan ini mempunyai babad peradaban yang sangat panjang, dari zaman ekspansi wilayah keislaman, masa perang antar kerajaan, kebudayaan, sistem bahasa, hingga pada perusakan ruang hidup yang mengakibatkan erosi nilai-nilai sebagai identitas kebudayaan masyarakat yang di naungi oleh pebukitan ini.

Kromong menurut penuturan masyarakat sekitar berarti gamelan, masyarakat menganalogikan shaf pebukitan kromong yang membentang bak layaknya gamelan yang terjejer rapih. Pebukitan kromong merupakan pebukitan yang mengandung batuan karst, batu alam, dan juga batu andesit sehingga pebukitan ini merupakan sasaran kaum kapitalis dalam memperbesar ranah eksploitatifnya terhadap sumber daya. Penulis menyoroti peradaban kebudayaan desa-desa yang berada di pebukitan kapur yang mana di daerah tersebut penulis menjadi seorang ‘pribumi’.

Keberadaan pebukitan karst dan goa karst sangat penting bagi masyarakat yang tinggal disekitar pebukitan ini, sifat karst yang mudah menyerap air membentuk cekungan alami sebagai penampung air untuk dipergunakan oleh masyarakat yang tinggal dibawah pebukitan kapur tersebut. Sebagai masyarakat pedesaan tentunya masih memegang teguh nilai-nilai leluhur, diantara leluhur yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar adalah Buyut Mulangi, Buyut Slawiguna dan juga Buyut Jabar. Salah satu desa dibawah pebukitan karst terbagi atas dua bahasa yang berbeda yakni bahasa Jawa dan Sunda, Sunda merupakan manifestasi dari kerajaan Galuh serta jawa merupakan manifestasi dari Keraton Cirebon.

Pebukitan ini menyisakan banyak sekali sisa peradaban yang hilang karena rusaknya bentang alam yang diakibatkan ketamakan kapitalisme dalam melakukan aktivitas pertambangan. Mulai dari ekspansi kapur oleh saudagar kaya dari Tiongkok bernama Liang Pun, hingga ekspansi negara dan swasta dengan dalih kesejahteraan yang lambat laun menciptakan krisis identitas dan luruhnya nilai-nilai kebudayaan ditengah-tengah masyarakat yang memegang teguh budaya dan adat istiadatnya.

Relokasi makam Buyut Mulangi merupakan bukti dari ketamakan kapitalis, memindahkan makam leluhur yang dikeramatkan dinilai mengurangi citra historis dari kesakralannya. Hal ini juga turut distimulasi oleh mengikisnya nilai-nilai identitas dalam masyarakat itu sendiri tidak banyak orang yang memahami bahwa tanah leluhur tersebut adalah tanah adat yang dimiliki khalayak umum.

Selain relokasi, kebudayaan yang berlangsung di Gunung Sumintapun turut menjadi korban atas ketamakan kapitalis. Gunung suminta merupakan bagian dari pebukitan kromong yang sekarang sudah tidak ada lagi bentuk fisiknya, gunung yang dahulu menjulang dan menjadi budaya masyarakat dalam ritual untuk meminta hujan ketika menjelang musim tanam kini sudah tinggal dataran yang menyisakan bongkahan bagian bawah dari bukit batu alam yang kini menempel di rumah orang-orang kaya Jawa dan Bali.

Kebudayaan akan kembali pada kehadirat tuhan satu persatu, begitupun manusia yang menghilangkan jejak serta berjuntai kisah dari nenek moyangnya dahulu.

D.    KESIMPULAN DAN SARAN

Kebudayaan sejatinya merupakan aset yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia. menapaki rekam jejak budaya adalah salah satu upaya preventif dalam melestarikan budaya di Indonesia. Runtuhnya kebudayaan akan benar-benar terjadi jika semua elemen masyarakat sipil dan pemerintah sudah berpandangan materilistik, kebudayaan hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur anak cucu kita kelak.

Saran bagi instansi pemerintah, perlu adanya upaya yang serius dalam melesetarikan budaya yang ada di Indonesia, serta perlu dibedakan mana budaya yang bisa menjadi aset ekonomi terbarukan dengan budaya yang bersifat spiritual. Saran bagi akademisi, mengkaji tentang kebudayaan secara jernih tanpa unsur pragmatis menjadi penting untuk saat ini, pemahaman mengenai substansi kebudayaan perlu di galakkan baik melalui skema pendidikan dan sebagainya. Serta saran bagi pemuda dan pemudi Indonesia, sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda dituntut untuk melestarikan budaya yang merupakan kekayaan bangsa kita ini.



[1] SP2020, Bps.go.id

[2] Sumarto, Budaya, pemahaman dan penerapannya (Jurnal Literasiologi, 2019) hlm 144

[3] Ibid, hlm 146

[4] Ibid, hlm 147

[5] Humaeni, Ritual, kepercayaan lokal dan identitas budaya masyarakat Ciomas, Banten. (Jurnal Harakah, 2015) hlm. 159

Comments