S E B U A H P R O L O G
BAB 1
Mencela Realitas
"Bagi saya, anarkisme tidak hanya berarti pengingkaran otoritas, bukan hanya ekonomi baru, tetapi juga revisi prinsip-prinsip moralitas. Ini berarti pengembangan individu serta penegasan individu. Itu berarti tanggung jawab diri sendiri, dan bukan pemujaan pemimpin."
—Voltairine de cleyre–
Halo Bung & Sus sekalian, Saya pribadi mengucapkan selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadhan 1443 H / 2022 M. Momentum ramadhan merupakan momentum perlawanan yang agung yakni perlawanan terhadap diri sendiri, momentum dimana kita dianjurkan untuk memperbanyak kontemplasi, autokritik dan merenungkan serta mengelaborasi kembali atas apa yang telah kita pijak hingga saat ini.
Tulisan ini tak lain didasari oleh empirisme penulis, tentang pengendapan dalam rentang waktu yang panjang untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan substansial dari hidup penulis. Konstruksi pemikiran atau tercetusnya gagasan bagi penulis tidak semerta-merta terjadi begitu saja terdapat banyak sekali faktor, fenomena dan aktivitas pikiran lain yang kemudian ditangkap dan coba diterjemahkan penulis menjadi buah pemikiran yang hendak dibagikan kepada pembaca yang budiman.
Sebagai pembelajar di ruang-ruang publik tentunya akan merasa tergelitik dengan realitas yang ada sejak dulu hingga sekarang, yakni; ketimpangan. Realitas ini dianggap sebagai buah dari sistem yang hanya berpihak pada kepentingan sebagian golongan, kemudian menciptakan mata rantai yang terus menerus membelenggu manusia secara berkesinambungan kemudian menciptakan realitas baru; Abad Modern dan masalah penindasannya.
Kita semua sepakat bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat sensitif dengan hak-hak fundamentalnya, jika memakai kacamata materialisme apakah menjadikan manusia sebagai objek dari upaya growth the economic bukan termasuk melanggar hak azazi manusia? sejatinya manusia mempunyai kebebasan yang mutlak untuk menyuarakan hak, kesamaan derajat, menentukan nasib, memperoleh kesamaan akses pendidikan, maupun kesamaan kesempatan untuk bertindak, hal-hal itulah yang kian mengisi ruang-ruang meja kopi kita sekarang.
Membicarakan ketertindasan berarti membicarakan struktur sosial, jika kembali ke mata pelajaran sekolah dulu kita akan menjumpai kembali stratifikasi sosial atau pengkelasan sosial. Melanggengkan sistem struktur sosial tentu melahirkan relasi kuasa karena yang demikian merupakan fungsi laten dari sebuah sistem, relasi kuasa merupakan hubungan antara Penguasa dengan yang dikuasai, terdapat banyak sekali paradigma yang di kemukakan oleh saintis mengenai hal ini.
Karl Marx menggambarkan perkembangan masyarakat dari kondisi primitif menuju masyarakat yang baru; Pertama, fase pertama marx menggambarkan kondisi masyarakat masih komunal primitif yang merupakan kondisi dimana masyarakat belum mengenal kepemilikan pribadi dan masih terbatasnya ketersediaan alat produksi.
Kedua, ketika masyarakat komunal primitif kian mengembangkan kapasitasnya baik dari alat-alat produksi maka selanjutnya coraknya adalah Perbudakan (Slavery) pada fase ini sudah muncul secara lugas bahwa ada penguasaan terhadap manusia.
Ketiga, masyarakat masuk pada era Feodalisme. Era ini merupakan penguasaan produksi baik dalam bentuk barang maupun jasa terhadap kaum-kaum aras bawah. Keempat, adalah era Kapitalisme yakni kelas masyarakat feodal atau tuan tanah yang ingin mendapatakan keuntungan yang lebih besar.
Dan Kelima, adalah era Sosialisme yakni kondisi terakhir masyarakat berlandaskan evolusi sejarah, pada masyarakat ini kelas sosial ditinggalkan, mulai kepemilikan aset bersama yang semula menjadi komoditas privat, dan sebagainya.
Dalam paradigma Marx, kita berada pada fase kapitalisme yakni kondisi dimana orang-orang yang diuntungkan pada masa feodalisme kemudian ingin memperoleh keuntungan kembali secara besar dengan cara menguasai aset, menerapkan sistem-sistem terdahulu, eksploitatif terhadap manusia, dan menciptakan sistem pendidikan yang melanggengkan kekuasaan.
Ya, pendidikan merupakan skema penting dari serangkaian agenda penguasaan kaum-kaum yang sudah disebutkan diatas. Adakalanya pendidikan hanya sebagai agenda untuk memproduksi serta me-reproduksi kekuasaan. Sebagai contoh, metode belajar yang diterapkan secara konvensional yang dijejali pikiran-pikiran bersifat non materialis disampaikan secara terus menerus, dibangunkan sebuah pemahaman mengenai suatu kepedihan, kemelaratan jika tidak mengikuti ta'aluq pada apa yang dikatakan olehnya (Red: System).
Freire menjelaskan bahwa sistem pendidikan semacam itu merupakan model pendidikan yang Konservatif. Model pendidikan tersebut dipenuhi corak konstruksi pemikiran “Kesadaran Magic” yang menjanjikan sesuatu tanpa alternatif lain dan tidak mencerdaskan sama sekali, tanpa disadari hal demikian melanggengkan Relasi eksploitatifnya terhadap manusia.
Semangat madzhab pemikiran Freireian, menawarkan konsep pendidikan yang mencakup semua metode pendidikan baik konservative, Liberal dan radikal. Ketiga metode tersebut memiliki corak yang berbeda, sebagai contoh metoda pendidikan konservatif melahirkan pemikiran yang magic misal: disaat mengalami kesusahan ia akan lebih suka membicarakan soal "Takdir" dan dihidupkan imajinasi tentang firdaus bagi orang-orang yang sabar daripada meletakkannya sebagai masalah yang harus dibayar dengan pertumpahan darah.
Selanjutnya, metoda liberal melahirkan pemikiran yang naif karena siasat pendidikan tersebut hanya terkonsentrasi pada hal-hal yang materialistik, misal; seorang pengajar akan lebih tertarik pada perbincangan mengenai perbaikan sarana prasana untuk menunjang aktivitas pembelajaran, metode ini memisahkan antara konteks pendidikan dengan konteks ekonomi maupun politik sehingga 'pembelajar' mengetahui betul tentang realitas yang terjadi saat ini akan tetapi lebih memilih bersikap pragmatis dan menerka-nerka konsekuensi apa yang akan ia dapat.
Metode yang terakhir ditawarkan oleh madzhab pemikiran freire ialah metode pendidikan radikal, yakni metode yang terkonsentrasi pada nilai-nilai partisipasi, meluhurkan nilai kemanusiaan, dan meyakini bahwa pendidikan harus berangkat dari apa yang dibutuhkan. Metode ini menekankan bahwa terdapat banyak sekali kerugian-kerugian (hanya) mendengarkan, alih-alih menggunakan metode ceramah yang mana pengetahuan hanya berpusat pada seseorang yang berdiri didepan ruang kelas, metode ini berpandangan bahwa pengetahuan tidak sepatutnya didiskreditkan dengan cara semacam itu, setiap manusia memiliki empirisme masing-masing sebagaimana masyarakat pertanian tentunya lebih ahli dalam hal menggemburkan tanah ketimbang orang kota yang menonton salah satu chanel youtube kemudian membuka 'cara mencangkul yang baik dan benar'. Hal ini juga menjadi kritik terhadap fasilitator yang hanya bertumpu pada madzhab positivisme, yang berpandangan bahwa poros pengetahuan hanya empirisme dan ilmu pasti, hal-hal diluar itu dikesampingkan dan tidak sah sebagai pengetahuan.
Begitupun dengan pandangan Anarkhisme Epistemologis yang dikemukakan oleh Paul K. Feyerabend, pengetahuan tak harus bertumpu pada pakem, khad, atau batasan tertentu yang menjadikan pengetahuan itu tidak berkembang. Feyerabend membebaskan manusia untuk berpikir tanpa khad yang sejatinya adalah menjadi 'ilat dan belenggu ketika berfikir, secara prinsip paham ini memandang bahwa pengetahuan 'anything goes' pengetahuan akan maju jika manusia tidak dibatasi pemikirannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Sifat dari paham ini juga sama dengan pandangan Khun, yakni incommonsurability yakni pencapaian sebuah paradigma tidak akan pernah sama dengan paradigma yang lain seperti yang telah dicontohkan dipemikiran madzhab freire yang ke-3 (tiga).