KENANG-KENANGAN MASA SILAM.

Catatan yang satu ini berdasarkan pengalaman penulis pribadi, tentang sebuah perjalanan untuk bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan saya di dunia pendidikan.

 Masa Pencerahan

Mengingat backround pendidikan saya adalah pendidikan agama yang mayoritasnya tidak bersekolah dan hanya berfokus untuk menuai pendidikan agama selain faktor lingkungan, di usiaku yang masih seumur jagung belum bisa memahami dengan baik mengenai doktrin "sekolah formal tidak lebih baik dari pendidikan ruhaniah yang di tawarkan lembaga pendidikan agama tersebut" yang turut mempengaruhi mengapa saya tidak bisa mengimbangi antara pendidikan formal dengan penempaan pengetahuan mengenai agama.

Sehingga efek yang di timbulkan adalah pemikiran yang anti dengan pendidikan formal, lambat laun pemikiran dan tindakan tersebut mulai menemukan titik terang kesadaran. Alasannya sangat sederhana, di masa tersebut orang tua lah yang mati-matian mencarikan solusi untuk persoalan saya, bukan lembaga yang mendoktrin saya.

Di titik tersebut saya merasa bak menemukan lentera di tengah-tengah gelap gulitanya malam. Jauh dari orang tua, membuat saya jarang sekali menyaksikan langsung perjuangan mereka dalam menyiapkan pebagai kebutuhan hidup, saya hanya bertemu mereka sesekali itupun hanya sebatas untuk memberi keperluan untuk saya satu bulan kedepan.

Dengan hukuman yang menurut saya setimpal tersebut, saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung mempunyai orang tua seperti mereka, yang tidak lepas tanggung jawab walaupun kesalahan saya sangat memungkinkan jika tidak di maafkan dan di perdulikan. 

Memperbaiki Kesalahan.

Saya berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang saya perbuat sebelumnya, dan berkat semangat untuk memperbaiki keadaan tersebut, terpilih masuk ke kandidat yang berhak menerima kuota SNMPTN (40% dari jumlah keseluruhan siswa) yang sama sekali tidak pernah terfikirkan sebelumnya, saya memutuskan untuk bercerita kepada orang tua mengenai hal tersebut.

Benar-benar tak menduga atas jawabannya, mereka sangat mendukung untuk saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saya yang tidak punya bayangan sebelumnya tentang kehidupan perguruan tinggi diam-diam mulai mengintip-ngintip tentang bagaimana dunia perkuliahan itu.

Saya memberanikan diri untuk daftar memanfaatkan peluang yang cuman hanya beberapa persen saja, saya mendafarkan diri dan berharap bisa masuk untuk berkuliah di Jogjakarta pada masa itu saya mendengar sassus yang berkembang bahwa dunia pendidikan di Jogja sangat baik untuk perkembangan pengetahuan. Keputusannya saya tidak di terima di universitas yang saya tuju.

Tidak sampai disitu berbagai program penerimaan mahasiswa baru saya ikuti, hingga melancong ke pinggiran DKI Jakarta untuk menunaikan seleksinya, saya ikuti proses itu hingga mampu memperoleh nilai 512, di website yang tersedia saya melihat beragamnya nilai minimum untuk bisa mendaftar dan diterima di PTN tersebut, saya mendaftar ke PTN yang ada Jogja, Semarang dan Tasik, lagi-lagi saya tidak di terima. Hingga sampai pada kabar bahwa sekolah saya pernah mempunyai masalah dengan lembaga penyelenggara seleksi tersebut sehingga masuk ke daftar hitam.

Setengah putus asa, saya mendapat kabar bahwa masih ada pendaftaran yang di buka di Solo, yang sebenarnya jurusannya tidak.syaa minati. Segera saya membicarakannya dengan orang tua, saya mencari keputusan terbaik dari proses panjang ini. Mereka mendukung apapun yang ingin saya lakukan selagi dalam garis kebenaran.

Pada malam itu juga, saya berangkat ke kota orang lagi, menuju surakarta. Kota yang mashur pada tonggak-tonggak pergerakan akademisinya. Saya di antar oleh orang tua dengan adik saya menuju alun-alun tempat penjemputan travel, dengan jantung yang seakan-akan memompa darah dua kali lebih cepat. Saya merasa bahwa kesempatan ini adalah kesempatan terakhir saya untuk memperbaiki keadaan.

Sesampainya di surakarta, saya merasakan betapa menyesalnya saya melakukan hal yang buruk ketika masa sekolah dulu, saya hanya bisa berusaha sekuat-kuatnya dan berserah diri memohon kepada-Nya agar di kuatkannya hati.

Saya seminggu hidup di Surakarta, sering sekali memperhatikan hilir mudik mahasiswa yang sedanh menjalankan aktivitasnya, ada yang fokus dengan laptopnya, ada yang hanya duduk di teras kampus sambil menghisap rokoknya, ada yang sedang berdiskusi, ada yang memasang berita kehilangan flash disk di sertakan nominal imbalannya semacam sayembara.

Hingga hari ujian pun tiba, teman satu daerahku terheran-heran mengapa saya memutar berkali-kali syair yang di gubah oleh Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Ia lahir pada 145 H(747 M) di Kota Ahvaz, Persia (sekarang Iran Saya hanya merasakan semangat yang bercampur dengan kekhawatiran yang sangat kuat di dalam hati, dan saya berharap bahwa hati saya di kuatkan.

Ujian berlangsung dengan khidmat memperebutkan kursi yang tersisa, ratusan calon mahasiswa, tanpa mengeluarkan sedikitpun suara kecuali derap kaki pengawas, pensil yang di gurat, dan benda-benda seperti kursi yang tak sengaja tertendang serta hilir mudik aktivitas TNI yang sedang berlatih. Seratus lebih soalpun tak terasa selesai, Ujian di tutup oleh pengawas dan ia memberi informasi bahwa penerimaan bisa di akses melalui website.

Dengan hati yang separuh lega, saya mencoba berbicara dengan beberapa peserta ujian yang lain, saya mencoba mengulik sudah dimana saja ia mendaftar. Ia menjawab dengan penuh rasa kekecewaaan, ia meluapkan kesalnya dengan nada berbicara sedikit tertekan di dalam hati saya, ternyata bukan saya saja yang mengalami hal ini.

Sesudahnya ujian saya pulang ke kamar kost yang saya sewa, sekitar 5KM jaraknya dari kampus menuju kamar kost tersebut. Kamar ini sengaja kami sewa karena harganya lebih miring ketimbang yang dekat dengan kampus.

Hingga pada keesokan harinya, datang telfon dari orang tua. Diam-diam mereka juga mempunyai rasa ketakutan mengenai tidak bisa membiayai saya secara penuh. Walaupun Jawa Tengah merupakan provinsi dengan biaya hidup yang relatif murah orientasi berfikir orang tua saya memang tidak bisa seperti itu, mereka adalah orang tua yang sangat memastikan ketercukupan anaknya walaupun kami sadar bahwa ekonomi kita sangat mungkin jika mogok di tengah jalan.

Kabar baik datang, saya di terima di perguruan tinggi negeri itu, sesuatu yang sangat ingin orang-orang lain rasakan, saya merasakan kemenangan. Akan tetapi, hasil dari kabar dari seberang sana menyarankan agar saya pulang terlebih dahulu ke kota asal, orang tua saya ingin membicarakan mengenai kekhawatiran mereka dan menyarankan bahwa alangkah lebih baiknya jika saya untuk melanjutkan pendidikan di kota asal. Ini memang sangat memberatkan, akan tetapi dengan proses pengendapan dan saya mencoba menuruti tanpa alasan (seperti yang saya lakukan ketika terdoktrin lembaga pendidikan agama) saya tinggalkan kisah pelancongan saya.

Berjuang di Kota Kelahiran.

Tak habis saya mencari informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru, dan saya berharap ini menjadi sesuatu yang orang tua harapkan dari saya, seleksi mandiri di perguruan tinggi negeripun masih membuka kesempatannya. Saya mengikuti gelombang kedua seleksi mandiri di PTN tersebut.

Saya mengikuti serangkaian test termasuk test wawancara dan masih berkelindan dengan soal-soal pelajaran yang saya dapat di sekolah. Saya sangat beruntung saya di terima di perguruan tinggi di kota sendiri. Dengan keuntungan lebih dekat dengan orang tua, jurusan yang menerima saya adalah jurusan sesuai pasion saya serta saya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat.

Hingga kini, saya benar-benar melanjutkan pendidikan yang saya tekuni dengan serius. Jika mengenang persoalan dulu penyesalan masih sangat membekas dalam hati.

Ucapan Terima Kasih

Saya yakin, ucapan terima kasih saja tidak akan cukup untuk membalas segala budi yang sangat sangat sangat tidak terhitung. Tentang kesabaran, dukungan, dan menyemangati dengan terus menerus di berikan kepada saya. Tidak terfikir apa dampaknya jika mereka tidak ada, apalah jadinya saya masa sekolah yang gagal.

Jasa besar di berikan oleh orang tua saya Bpk. Kadina dan Ibu Suheri yang tidak kenal siang mendoakan, menangisi, dan memberikan apapun yang di butuhkan dan tak lupa orang yang selalu ada di sisi, Diah Nurul Hidayah—tanpa bosan sedikitpun ia mendengarkan keluh kesah, dukungan berupa suport bahkan materi, penyediaan akses, dan yang terpenting adalah mereka benar-benar tulus melakukannya.

Terimakasih orang-orang baik, jasamu tak lekang oleh waktu.

— Khaerul Fadlilah —

Comments