Catatan Desember 2020

 

Bendungan setu patok, Mundu, Cirebon.

Akhir tahun merupakan momentum dimana sebagian orang memilih untuk menyisakan sedikit waktu untuk evaluasi tentang kekurangan-kekurangan terhadap hal yang sudah di lakukan di tahun yang tinggal menghitung beberapa saat dan lenyap menjadi sejarah.

Entah karena manusia terlalu ambisius atau sehingga sangat mudah untuk hanya mengingat hal-hal yang dirasa kurang, padahal harusnya di lain sisi sebagai manusia yang berdaulat penuh pada diri sendiri adalah perlu menapaki jejak jejak pencapaian sekaligus merayakannya.

Pernahkah kita memikirkan kemajuan-kemajuan yang sudah kita dapat di tahun ini? Kemajuan tidak melulu persoalan penemuan, tidak melulu persoalan prestasi dalam berpendidikan, finansial yang banyak atau bahkan dalam hal yang lebih ambisius seperti 'meraih kesuksesan'. Padahal masih banyak hal-hal yang terlihat kecil yang perlu kita rayakan seperti; keterbukaan ruang-ruang kepedulian kita terhadap persoalan-persoalan, membuka ruang kesadaran kita terhadap pentingnya menata tatanan kehidupan kita agar lebih teratur, itupun sudah menandakan kita mempunyai modal untuk menjadi orang yang hebat.

Bagi saya pribadi, tahun yang beranjak berganti sekarang ini—saya kira sangat fantasis. Pasalnya tahun mendatang menjadi masa transisi saya dalam usia kepala dua, semua kekhawatiran menjadi landasan pacu untuk masa transisi ini, sekaligus menjadi dampratan keras bagi saya terhadap waktu yang terus bergulir dan menerlenakan, saya menyadari betul masih banyak dari diri saya yang menyianyiakan waktu, perilaku buruk menunda-nunda masih ada hingga saat ini.

Di bulan kemarin, ucapan bung Rian Budianto Ramadhan masih sangat membekas dan mereproduksi dirinya sendiri di dalam ingatan saya, sang vokalis, gitaris band rahaSIa yang terkenal di kampus sekaligus pegiat studi lingkungan ini benar-benar berhasil dalam memengaruhi fikiran saya. Di meja kopi—kita berbincang—ia bilang "kenalilah dirimu, kau mau apa hidup ini." Retoris semacam itu memang sudah tak jarang lagi saya temui di buku-buku, dari yang saya pelajari dalam kitab-kitab pesantren dulu, dari para agamawan, dari para orang-orang tua, pikiran socrates ini lebih merangsang otak saya melalui perantara pertanyaan Personil Band tersebut.

Barangkali dari faktor intern saya yang tidak kenal jelas dengan diri sendiri, tidak punya kesepakatan-kesepakatan antara diri dan ragawi menjadi penyebab saya menjadi manusia yang mubazir waktu.

Comments