Tentang lelah, yang seringkali berubah menjadi keluh kesah, lisan tanpa suara, tanda tak mampu untuk bersabda. Relung yang menjerit, tanda ia tak sanggup menelan pahit.
Seraya kupandangi semesta, ia begitu elok bak permata, Kiranya dapat ku adukan perihal hidupku padanya. Namun ia hanya tersenyum senyum belaka.
Ku sandingkan kopi malam ini, kiranya, aku dapat menenangkan diri. tetapi kopi ingkar janji, dan pergi begitu saja tanpa permisi.
Aku diajak merenung di sisa malam, barangkali malam menyimpan kenangan yang kelam, kenangan yang bertubi tubi menghujam, melambai lambai menjatuhkan pada luka-luka silam.
Ada apa ini?
Semesta yang tak seperti biasanya, hari lalu bintang bintang berdzikir di kedipannya, rembulan yang merona, bagai pipi di usia remaja. Namun malam ini, sungguh terlihat berbeda, hanya senyum semu yang di goresnya.
Hendak kutanya, pada siapa?
Hendak merintih, pada siapa? Hendak kucurahkan, pada siapa? Tentang hidupku yang sering dipengaruhi oleh siapa dan siapa.
Seraya kutatap semesta dengan angkuh, walau raga berbalut peluh. Tolong sampaikan kepada Keluh, bahwa aku tak dibuatnya rapuh.
Hingga kutemui shangyang esa, Ia rupanya sengaja, membiarkan aku kebingungan dalam skenarionya, agar aku tau bahwa hidup tak luput dari bercanda.
-Disuatu tempat, dibawah pelangi-
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.