CANGKIR KOPI RASA POLITIK
WARKOP,— Akhir akhir ini safari politik sedang banyak dilakukan oleh politisi. Pola yang dilakukan oleh politisi yang ingin naik kursi tak jauh beda dengan pendahulunya, sasarannya adalah mimbar-mimbar umum, pos ronda, sekolah, fasilitas umum, hingga beberapa lembaga pendidikan agama seperti pesantren dibeberapa daerah sudah mulai disambangi oleh politisi yang meminta restu dan dukungan exposure atau berupa klaim sebagai orang baik guna memperbesar 'jaring' yang berfungsi menghimpun simpati masyarakat.
Selain infrastruktur sosial tak lupa politisi juga menyasar pada warung-warung kopi, kedai-kedai kecil untuk melakukan pertemuan dengan partisipan, deklarasi sumpah serapah, dan juga pembacaan janji Wartiyem. Pun demikian akan terjadi secara continue, dari warung ke warung, dari kedai ke kedai—politikus tentunya bergegas mengingat kopi yang diminum akan expired atau kadaluarsa tahun 2024.
Beberapa minggu kebelakang, sosial media dihebohkan dengan diksi 'wong cilik' yang naik akibat kampanye yang dilakukan oleh politisi yang seolah-olah memposisikan diri berada dipihak 'golongan' tertentu, padahal menurut sebagian masyarakat hal itu berbanding terbalik dengan kehidupannya sebagai mantan keluarga istana. Hal yang menarik sebetulnya ada pada tingkat kesadaran masyarakat umum yang mampu membedakan mana hal-hal yang bersifat politis dan non-politis atau zero interest hal ini memungkinkan bahwa tingkat sensitifitas atau kesadaran politik masyarakat sudah mulai meningkat.
Sebagai pegiat cita rasa kopi, tentu tidak lengkap rasanya jika ngopi tanpa kudapan politik. Entah kenapa, membicarakan nasib bangsa dan 'memprediksi' kemajuan bangsa sangat refleks untuk dihadirkan dalam perbincangan diwarung kopi, salah satunya politik. Kopi sepertinya sangat efektif untuk memantik diskusi-diskusi publik.
Dengan tingkat kesadaran politik yang kini mencapai tingkat kepekaan yang tinggi, seharusnya politisi yang menggelar kampanye diwarung kopi seyogyanya tahu diri bahwa politik obral janji sudah bukan zamanya lagi. Masyarakat setidaknya sudah mengerti mana yang melaksanakan kampanye-kampanye gelap (dark campagne) yang hanya berpihak pada segilintir orang dan lebih cenderung oportunis. Malahan, jika kampanye semacam itu terus menerus berlanjut, padahal tingkat sadar politik masyarakat sudah terus menerus meningkat maka bincang politik pun tidak lebih hanya dijadikan sebagai pemanis kopi V60.
Kopi Tak Pernah Ingkar Janji
Malam itu, pekat kopi menjadi epilog dari berisiknya hari; hari dimana dihujani beban-beban silih berganti. Kopi memang dianggap sebagian besar orang adalah ramuan untuk mengobati luka-luka dihari yang tidak dihadiri oleh dewi fortuna.
Menyeruput segelas kopi malam itu sangat syahdu, samping kiri sedang berbicara tentang kebebasan umat manusia dari belenggu ketertindasan akibat sistem yang hanya terpusat pada penguasa. Sedangkan samping kanan, tengah sibuk berdiplomasi agar bisa naik tahta.
Kopiku syahdu, mereka berkicau 'bak burung kicauku dirumah. Suaranya tak beraturan, tapi iramanya satu; atas nama bangsa dan negara. Kopi tubruk yang aku pesan itu sudah mulai dingin, sama seperti obrolan samping kanan kiri yang sudah mulai terbawa angin. Tapi yang tak berubah, rasa kopiku yang tetap pahit. Kopiku, bukan kamu yang hanya memesan teh tarik agar anggaranmu tidak bengkak, anggaranmu mulia agar rakyat sejahtera. Manis sekali pesananmu, malam itu.
Comments
Post a Comment
Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.