BELAJAR BARENG MASYARAKAT RAWAURIP; Pertanian Bawang Merah

Ilustrasi. Van Noppen, Soewardja (1900)

sabda shangkara — Pertanian palawija di Rawaurip blok Kali Bangka sangat mudah di jumpai kanan-kiri jalan. Sektor pertanian tanaman palawija merupakan profesi yang dijalani oleh masyarakat Rawaurip selain pertanian garam. Desa Rawaurip secara administratif masuk kedalam kawasan Kecamatan Pangenan Kab. Cirebon, desa Rawaurip terletak di jalur pantura Pulau Jawa yang juga berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Masyarakat desa Rawaurip mayoritas berprofesi sebagai seorang petani. Sebagian besar lahan pertanian masyarakat digunakan untuk menanam bawang merah, sebagian kecil lahan-lahan masyarakat dipergunakan untuk menanam jagung, semangka, sawi hijau, terong dan tanaman lain yang tentunya tidak sebanyak populasi pertanian bawang merah itu sendiri.

Keberadaan bawang merah ala brebes di Desa Rawaurip Kec. Pangenan Kab. Cirebon ini merajut sejarah yang cukup panjang dan kompleks, mengingat tumbuhan bernama latin Allium cepa var ascalonicum ini tergolong tanaman yang baru 31 tahun menurut (Bpk Qomari Ada sejak 1990-1995) menumbuhi tanah-tanah di Rawaurip. Asumsiku, usia tersebut tergolong masih sangat remaja dalam konteks mata pencaharian masyarakat, sehingga sektor tersebut belum menghasilkan produk-produk kebudayaan seperti profesi pertanian garam yang sudah ada terlebih dahulu sebelum pertanian bawang.


Baca Juga : Belajar Bareng Masyarakat Rawaurip; Tentang Garam


Hikayat Tani Rawaurip.

Menurut keterangan yang diberikan Bapak Walim (Wiliam; Sebutan Belanda) beliau lahir pada tahun 1948. Sebelum pertanian bawang masyarakat Rawaurip dahulu (1948) merupakan masyarakat petani padi, pada tahun 1948 sektor pertanian padi masih menjadi komoditi utama di Rawaurip dengan sistem pengairan berupa irigasi dari Desa Karang Wareng.

Padi yang ditanam masyarakat pada kurun waktu tersebut umumnya adalah padi Engseng, padi klemas dan Padi merah. Tanaman komoditas yang masif ditanam di Rawaurip adalah padi engseng, alasannya padi ini tidak rumit dalam perawatan sehingga menjadi sektor ekonomi pendukung setelah masyarakat melaut saat pagi hari. Rentang waktu 1948 masyarakat Rawaurip masih dilanda krisis pangan dan krisis finansial pasca kemerdekaan—berangkat dari keadaan serba krisis tersebut, keberadaan pertanian pun tidak sepadat seperti saat ini, tentu hanya beberapa saja petani yang menanam padi. 

Selain menjadi seorang petani, masyarakat Rawaurip pada dasarnya berprofesi sebagai nelayan tangkap rebon. Sektor perekonomian nelayan tangkap rebon mengalami masalah yang cukup serius dan genting, terdapat beberapa hal yang mengakibatkan anjloknya populasi rebon, yang saat ini dianggap hal yang paling bertanggung jawab atas hilangnnya populasi rebon di laut Desa Rawaurip. (Bpk. Jahir 1944)

Konon, area yang biasa digunakan oleh para nelayan tangkap rebon di Endrim atau di racun oleh salah satu oknum yang tidak di ketahui motifnya. Selain itu, limbah pabrik tekstil yang beroperasi di Rawaurip juga dianggap menjadi penyebab hilangnya populasi udang rebon ini. Akibatnya, industri masyarakat lokal pengrajin terasi di Rawaurip-pun mulai redup karena bahan baku yang sulit didapat. Kini, hanya ada satu saja pengrajin yang dapat ditemui yaitu Ibu Mahmuda yang mempertahankan profesi pengrajin terasi karena produksi terasi juga merupakan jalan hidup yang ditempuh orang tuanya dahulu.

Selanjutnya, di sektor pertanian Padi Engseng mulai muncul gejolak konflik atas pengairan lahan pertanian pada tahun 1950, pada tahun tersebut menyusutnya debit air irigasi dari Karang Wareng sehingga irigasi tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan penggarap lahan pertanian di beberapa radius dari irigasi itu saja. Di tahun tersebut juga menjadi penyebab atas Tadah hujannya lahan pertanian di Rawaurip.

Upaya di lakukan pada masa kuwu Abdullah tahun 1951 beliau hendak menngentaskan masalah air dengan membangun DAM (Bendungan) di daerah Watu Belah, akan tetapi upaya tersebut gagal lantaran Rawaurip sendiri sudah direncanakan untuk dijadikan sebagai kawasan Industri kawasan Cirebon Timur.

Keadaan yang serba krisis semacam itu, membuat masyarakat beralih profesi menjadi peternak kambing dan hewan ternak lain, konon katanya asal kata Pangenan (Kec. Pangenan) berasal dari Pangonan atau tempat angon yang berarti tempat untuk menggembala hewan ternak (Interview dengan William, 2021). Kondisi pertanian yang berubah menjadi tadah hujan tersebut berlangsung hingga saat ini. 

Pola kehidupan petani Rawaurip dahulu dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan cara menanam padi Engseng dengan pola ekonomi subsistensi; yakni hasil tanam (panen) hanya disimpan untuk dikonsumsi sendiri, biasanya masyarakat menyimpan hasil tanamnya di gudang sukamiskin.

Hingga keberadaan padi Engseng tersebut lambat laun hilang-dihilangkan, bibit tersebut diganti oleh sosialisasi Bibit unggul padi IR (1970) yang dikenal dengan program kebijakan Green Revolution (Revolusi Hijau Era Presiden Soeharto). Bapak Jahir (1944) beliau merupakan orang yang terakhir kali menyimpan bibit Padi Engseng itu sendiri. Keterangan yang diberikan Bpk. Jahir selaras dengan Bpk. Wiliam, mempertegas kondisi pada masa dahulu untuk menggarap lahan sangatlah mudah karena lahan pertanian masih banyak yang kosong, akan tetapi krisis finansial pada masa itu yang menjadikan pertanian tidak berjalan. Lahan yang di garapi padi hanya di kawasan Kali Bangka kidul (Blok Kliwon), untuk Kali Bangka Lor (Blok Pon dst) di tanami Umbi jalar dan singkong.

Rekam Historis Bawang Merah

Sejarah bawang merah di Rawaurip sendiri mempunyai keterkaitan dengan daerah brebes, Bapak Wiliam menjelaskan pada mulanya orang Etnis China lah yang memperkenalkan dan menanam bawang merah di daerah Brebes, Jawa Tengah. Akan tetapi 'mereka' mengalami kebangkrutan sehingga pertanian bawang merah dilanjutkan oleh Haji-Haji yang mempunyai modal.

Trend bawang merah menyebar secara massif hingga ke Rawaurip. Salah satu orang yang pertama kali memperkenalkan dan menanam bawang merah di Rawaurip adalah H. Amir pada tahun 1990 kemudian orang-orang mulai tertarik karena hasilnya di nilai memuaskan ketimbang menjadi seorang peternak.

Tahun 1991 terjadi pembukaan lahan untuk pertanian bawang merah. Lahan yang ditumbuhi pohon-pohon besar di sebelah utara blok Buncit (Masyarakat Rawaurip menyebutnya dengan Alas atau Hutan). Hingga kurun waktu 5 tahun (1990-1995) bawang merah sendiri menjadi tanaman komersial yang menjanjikan dan menyaingi sektor industri pertanian garam di Desa Rawaurip.

Menjadi Seorang Petani Bawang.

Secara teknis, bibit bawang merah masyarakat dapatkan dari Brebes dengan harga perkilo, di lahan garapan 1/4 bouw atau sekitar 1,500 M² membutuhkan bibit sebanyak 3 kwintal. Bibit biasanya di beli pada bulan 9 kemudian bibit itu dikeringkan dengan cara diangin-angin (Tarang; sebutan masyarakat) waktu yang ideal untuk penarangan adalah 2 bulan hingga kegiatan olah lahan di lakukan pada bulan 11 ketika curah hujan belum begitu intens. Pencangkulan (Nebal; sebutan masyarakat setempat) dilakukan ketika lahan masih kering yang bermanfaat pada hilangnya hulma rumput yang masih bercokol di lahan tersebut.

Proses tersebut membutuhkan waktu 3 hari dengan menggunakan jasa buruh sebanyak 10-11 pekerja laki-laki per dzuhur dengan upah 75000 rupiah. Kemudian proses selanjutnya adalah meratakan tanah atau yang biasa di sebut ngarag beberapa hari kemudian setelah meratakan tanah proses olah lahan selanjutnya adalah proses membuat penampungan air atau nyolok.

Proses selanjutnya adalah penanaman, penanaman ini memerlukan jasa buruh perempuan sebanyak 15 orang dengan upah 50.000 ribu rupiah, proses ini hanya memerlukan waktu 1 hari. Sesudah itu, bibit di diamkan selama 10 hari setelah sepuluh hari maka dilakukan penebaran pupuk dasar NPK 16-16-16 (natrium, phosphate, kalium) ke lahan yang sudah diolah sebelumnya. Penebaran pupuk dasar dilakukan sebanyak 3x yakni ketika bibit umur 10 hari, 20 hari, dan yang terakhir 30 hari. 

Perlakuan terhadap tanaman per 3 hari sekali adalah penyemprotan, hal itu tergantung dari curah hujan. Untuk penyemprotan sendiri baiknya dilakukan ketika tanaman bawang belum terkena cahaya mata hari, penyemprotan mengandung insektisida (pembasmi serangga), pestisida (pembasmi hama), fungisida (pembasmi Jamur) dan perekat (berfungsi sebagai perekat 3 komponen tadi dari air hujan) Bawang merah sendiri memerlukan kadar keasaman tanah dari 3,4 - 4,6 (Ph).

Tahun 2014, KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari Bank BRI mulai masuk, masyarakat yang mengalami kegagalan di sektor garam pada musim panas, biasanya memakai modal untuk menanam bawang dengan meminjam modal melalui KUR, untuk peminjaman senilai 20.000.000 bunganya hanya 560.000 per 5 bulan, konsekuensinua hanya itu tidak ada konsekuensi lain atas pelibatan bank terhadap proses produksi pertanian bawang lebih lagi terhadap penjualan (distribusi).

Untuk penjualan bawang merah, biasanya pihak pengepul mendatangi ladang-ladang bawang dengan sistem lelang. Menurut penuturan petani bawang sendiri belum pernah mengalami gagal total dalam pertanian bawang terhitung dari sejak adanya bawang merah di Rawaurip. Kemudahan akses penjualan menurut petani juga merupakan berkah bagi petani. Hal yang mempengaruhi penjualan tentunya kualitas bawang dimulai bibit yang ditanam dan sebagainya. Bibit yang besar (petani menunjukan ukurannya kira-kira se-jempol orang dewasa) itu bisa berkelipatan 6-7 bawang merah adapun jika bibitnya kecil maka hanya berkelipatan 4.

Biasanya, bawang merah yang sudah berusia 20 hari bisa di tumpang sari dengan tanaman lain (Nyulam; sebutan masyarakat) dengan aneka tanaman lain seperti sawi, cabai rawit, sehingga ketika musim panas tiba (Beralih profesi sebagai penggarap tambak garam) lahan itu tidak sepenuh kosong.

Keterbatasan waktu dan keteledoran saya pribadi mengakibatkan masih kurangnya data di alur diatribusi, saya memohon maaf kepada para pembaca yang budiman. Segala kritik yang membangun maupun menghujat saya buka dengan selebar-lebarnya. Barangkali untuk kelengkapannya, saya akan tulis di lain hari.

Khaerul Fadlilah, Belajar Lapang (2021)

Comments

  1. Thanks for your atention, please follow this blog, 'cause you always the first reader and build your knowledge more.

    ReplyDelete

Post a Comment

Kritik dan diskusi adalah kekhasan budaya akademis yang harus dirawat, maka tinggalkan jejak anda disini.