REFLEKSI LINGKUNGAN

Beberapa hari lalu saya berdiskusi dengan rekan-rekan pegiat lingkungan. Konsistensi dalam menjaga lingkungan hidup merupakan hal yang sangat-sangat krusial – urgensi pemahaman mengenai konsep lingkungan hidup sekaligus turut berkontribusi dalam ‘menjaga’ ruang hidup sudah menjadi ketentuan-ketentuan yang mutlak. Kebutuhan akan terperliharanya lingkungan hidup tentu tidak bisa di geser oleh kebutuhan premier lain—seperti halnya mencari uang—hidup di lingkungan yang bersih mampu memberikan beberapa persen jaminan kesehatan.

Dewasa ini sering kita temukan bahwa kesadaran manusia dalam hal lingkungan hidup masih perlu di kembangkan, proses penanaman pemahanan dan aksi kolektif ini menjadi agenda penting. Namun ke-naifan kesadaran (Naival considousness) (Freire 2000:11) dalam hal ini masih mengendap di sebagian kalangan masyarakat. Proses transformasi dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis (Critical Considiousness) memang bukan perkara yang dapat di persingkat waktunya—proses panjang yang sangat menguras tenaga dan fikiran ini—adalah modal awal dari bangkitnya keseimbangan pemahaman antara konsepsi menjaga kelestarian hidup dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain (Value).

Upaya-upaya penyadaran ini bukan berarti proses menuju pembangkangan, sebuah pemahaman yang saya kira keliru apabila rangkaian kegiatan dalam upaya pelestarian alam di samakan dengan prosesi pembangkangan—jelas di atur dalam UU No 32 tahun 2009 bahwa segala daya upaya yang di lakukan (termasuk rekonstruksi pemahanan) demi terciptanya lingkungan hidup yang sehat adalah merupakan Hak Azazi Manusia – dengan demikian prosesi atau segala upaya pembenahan/upaya menuju lingkungan hidup yang lebih baik merupakan hak yang di lindungi oleh konstitusional.

Percepatan ekonomi yang terjadi turut mengubah pelbagai perilaku masyarakat. Dalam kondisi masyarakat kapitalis seperti ini – adalah penting dalam memenuhi kebutuhan materil – akan tetapi pemenuhan ini menuntut pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar; alam yang di jadikan barang produksi, tidak hanya sebatas itu yang di korbankan—seperti yang kita tahu bahwa alam membentuk karakter-karakter masyarakat sekaligus menentukan mata pencaharian masyarakat.

Bukankah yang kita rasakan sekarang ini adalah bagian dari krisis lingkungan hidup? Lagi-lagi semua pernyataan-pertanyaan menyudutkan manusia agar lebih peduli pada lingkungan hidup, modernisasi menuntut manusia untuk lebih bijak dalam menentukan skala prioritas dan ‘Keseimbangan’ (Jim Ife & Tesoriero, 2006). Krisis lingkungan hidup yang kita rasakan sekarang ini, pemanasan global, pelbagai fenomena alam seperti; banjir, longsor dan pencemaran udara apakah tidak cukup untuk membuka kesadaran kita untuk memberikan sedikit saja perhatian kepada anugerah tuhan yang agung ini? Perubahan-perubahan tidak harus menunggu persoalan ‘kemapanan sistem’ jauh dari itu, perspektive green menyebutkan bahwa perubahan sosial juga dapat dilakukan dalam keadaan-keadaaan yang sangat mendesak (Jim Ife, 2006:52).

Guna memperjelas; izinkan saya untuk sedikit menjelaskan beberapa butir fenomena alam akibat paradoksa perilaku manusia. (1) Banjir, hal ini sangat sering kita temui di daerah kita sendiri atau melalui media siaran—yang paling sering kita ketahui penyebabnya adalah perilaku membuang sampah di sungai, hanya hal yang sangat sepele seperti itu bisa berdampak buruk bagi lingkungan bahkan ekonomi—ketika banjir, tidak sedikit warga yang kehilangan padi yang hendak di panen lantaran kuyup karena di koyak-koyak air warna coklat itu akibatnya berapa petani yang terancam persoalan kebutuhan premiernya? Bahkan kitapun tidak tahu, laba panen yang di nanti-nanti itu untuk keperluan pendidikan. (2) di bangku sekolah dasar kita pernah di ajarkan bahwa pohon adalah penangkal banjir, konsekuensi logisnya semakin banyak pohon semakin banyak daerah resapan air, semakin banyak berbagai spesies yang dapat hidup—ekosistem inilah yang sangat krusial terhadap bermacam-macam spesies di negara kita ini.

Sejatinya, pengetahuan lokal selaras dengan ‘apa yang di butuhkan oleh lingkungannya’ saya yakin orang yang bertahun-tahun hidup di suatu tempat/hutan sangat faham betul kondisi lingkungannya—sehingga membentuk—peraturan-peraturan implisit tentang apa yang di larang untuk di lakukan dan hal yang di anjurkan untuk pemanfaatan. 
Konsepsi mengenai pentingnya memanfaatkan, menjaga, dan melestarikan setidak-tidak nya mempunyai beberapa prinsip; (1) Holisme ialah pandangan bahwa pemahaman mengenai suatu fenomena alam tidak bisa kita baca secara sepihak melainkan secara menyeluruh seperti halnya upaya men-generalized atau causality dari banjir mulai dari sebab terjadinya sampai pada dampak-dampak yang ditimbulkan. (2) alam merupakan suatu fasilitasi tuhan dalam menunjang keidupan manusia, perlunya ketetapan atau batas-batas antara ‘pemanfaatan’ dengan ‘keserakahan’ dalam hal ini suatu prinsip ekologi yakni; Keberlanjutan (Jim Ife & Tesoriero, 2006:92). Prinsip ini memandang bahwa energi-energi terbarukan harus sangat-sangat optimal pemanfaatannya, sumber-sumber energi harus di minimumkan bukan di maksimumkan—hal ini bersifat non-pertumbuhan—kepada sistem ekonomi.

Comments